Ketika Segalanya Dipolitisir

Di zaman GW Bush misalnya, Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar Bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia.

Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa ternyata penilaian radikal, intoleran dan/atau moderat itu banyak dan ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik ketika itu. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya.

Hari-hari ini isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB.

Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja yang memiliki logika sehat akan melihat Pak Din Syamsudin tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tetapi juga beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace).

Pak Din Syamsudin sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian.

Apakah begitu mudah kemudian seorang Din Syamsuddin dituduh sebagai radikal hanya karena tidak setuju atau tidak sejalan dengan keadaan atau kebijakan politik yang ada? Begitu mudah mengingkari perjalanan panjang dan bersejarah beliau dalam membangun moderasi dan perdamaian?

Disinilah urgensinya untuk kita saling mengingatkan. Kiranya masanya perlu menghentikan politisasi istilah radikalisme atau moderasi. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter  “we vs them” (kami lawan mereka).

Kecenderungan memecah belah atau “divide at empire” ini pastinya hanya akan semakin melemahkan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk pak Din Syamsudin, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa. Karenanya serangan kepada tokoh-tokoh agama seperti pak Din Syamsudin ini adalah bagian dari upaya pelemahan Umat dan bangsa.

Kecurigaan-kecurigaan itu boleh saja terbangun. Salah satunya, jangan-jangan memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak! [FNN]

Penulis: Shamsi Ali,  Presiden Nusantara Foundation.