Oleh : DR Ahmad Zain
Dunia ini akan rusak dan manusia akan sengsara, kehidupan tak akan pernah aman dan sentosa selama ajaran Islam tidak dijadikan way of live di dalam mengatur kehidupan ini.
Nasionalisme sebagai ajaran baru, ternyata telah membawa kerugian bagi umat manusia sendiri. Dan umat Islamlah yang akan terkena akibatnya pertama kali.
Berikut ini sebagian dampak negatif dari penyebaran paham Nasionalisme yang sempat terdata oleh penulis (walaupun pada bab-bab sebelumnya dan sesudahnya sudah disebutkan):
Pertama : Menjadikan orang berpikiran kerdil, sempit pandangan, dan fanatik.
Hal itu dialami oleh orang-orang Jepang, ketika menyetop masuknya pohon mangga dari India ke negaranya, hanya karena pohon tumbuh di bumi bangsa lain.
Kedua : Mendidik generasi untuk terus berselisih dan berperang.
Kita bisa lihat contohnya di belahan Asia tengah, tepatnya di Afghanistan, yang tak pernah berhenti dari perang saudara.
Hal yang sama dialami oleh Pakistan, negara tetangga Afghanistan, yang mulai tenang kembali selama beberapa tahun ini, tetapi ketenangan itu digoncang kembali dengan tumbuhnya pertentangan antara suku dan ras, nampaknya ada koalisi untuk membagi wilayah Pakistan.[1]
Begitu dengan Yaman, walalupun pernah tenang beberapa saat, terakhir ini juga diguncang dengan perang saudara.
Rasanya terlalu banyak contohnya untuk disebutkan disini. Tapi yang jelas musuh-musuh Islam berusaha untuk selalu mengobarkan perpecahan, khususnya di negara-negara Islam.
Soedewo, salah satu tokoh kemerdekaan dan salah seorang aktifis JIB pada tahun (1925-1934), pernah menulis:
“Nasionalisme yang bersemboyan Right or Wrong my Country itulah yang bertanggung jawab atas peperangan dan pemerkosaan hak secara kasar, atas penjajahan dan exploitas bangsa yang lemah. Yang tersebut terakhir ini dipaksakan ke dalam perbudakan, diruntuhkan dan dipermalukan moralnya, demoralisasi.”[2]
Ketiga : Memutuskan hubungan spiritual antar bangsa.
Nasionalisme semacam ini akan memisahkan umat Islam di Indonesia dengan umat Islam di Malaysia misalnya, ketika terjadi insiden antara dua negara tersebut, yang terkenal dengan istilah “Ganyang Malaysia” pada masa pemerintahan Soekarno.
Begitu juga yang terjadi antar Yaman dan Arab Saudi atau antara Iraq dengan Iran atau antara Mesir dengan Sudan. Sedangkan Islam mengajarkan persaudaraan universal sebagaimana yang termaktub di dalam surat al-Hujurat ayat 10 dan surat Ali Imran ayat 103.
Keempat : Mematikan daya pengembangan yang ada pada diri setiap orang, karena ia hanya menginginkan bangsanya saja yang berkembang.
Kelima : Menyebarkan prinsip-prinsip sesat, seperti: hak hanya dimiliki oleh yang kuat tak ada hak bagi yang lemah, kekuatan dan kebenaran hanyalah bangsa saya.
Keenam : Mengorbankan kepentingan umum demi tercapainya kepentingan bangsanya. Bangsa Aria, umpamanya terlalu bangga ketika mengumandangkan slogan “Jerman diatas semua bangsa”.
Hitler, yang dikategorikan banyak orang sebagai penjahat perang dunia II, mengakui sendiri pernyataan di atas. Di dalam bukunya “Perjuanganku”, dia penah menyebutkan:
“ Manusia terbagi menjadi tiga bangsa : bangsa yang menciptakan kebudayaan, bangsa yang menjaga kebudayaan dan bangsa yang merubah kebudayaan. Hanya bangsa Aria sajalah yang termasuk golongan pertama( bangsa yang menciptakan kebudayaan). “
Ketujuh : Membentuk sosok plin plan, yang tidak mempunyai pendirian tetap, sikapnya akan berubah-ubah mengikuti arus angin , dimana ada keuntungan bagi dirinya disitulah ia berada.
Sifat seperti ini pernah dimiliki oleh “Mushoilini”, salah satu tokoh nasionalis Itali. Dia adalah sosok “sosialis” yang sebelum terjadi perang dunia pertama. Setelah melihat kekalahan yang alami oleh Itali, dia berubah menjadi sosok “liberal sosialis”, kemudian pada tahun 1920, ia memeluk faham “anarkisme”, yang pada waktu itu ia mengritik habis-habisan faham demokrasi. Akan tetapi pada tahun 1921, justru dia bergabung dengan orang-orang demokratis.[3]
Kedelapan : Mengakibatkan loyalitas seorang muslim kabur dan tak jelas.
Hal itu, karena kesatuan loyalitas dari sebuah kelompok manusia jelas berdampak positif karena akan memperkuat kesatuan mereka. Sebaliknya kaburnya atau terpecahnya loyalitas sebuah kelompok akan mengantarkan kepada perpecahan dan kelemahan. Kesan seperti nampaknya bisa dirasakan oleh siapa saja yang pernah berkumpul atau berorganisasi.[4]
Kesembilan : Nasionalisme cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap agama. Pergerakan Nasionalisme hanya mendasarkan gerakannya pada kepentingan bangsa saja. Sehingga, apabila gerakan yang demikian mencapai kemerdekaan, hukum yang diterapkan adalah hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.[5]
Ini yang terjadi di Negara Indonesia, ketika kemerdekaan berhasil di raih oleh umat Islam lewat perjuangan yang gigih, namun secara mendadak kubu nasionalis bisa menguasai pemerintahan.
Ir. Soekarno sebagai wakil dari nasionalis yang pada waktu menjabat sebagi presiden pertama RI, mampu memaksa rumusannya tentang dasar Negara kepada kelompok Islam dan mendesak umat Islam untuk menyetujui penghapusan tujuh kata dari UUD 1945, yang mewajibkan syariat kepada umat Islam dan pasal keenam yang mengharuskan presiden beragama Islam.
Padahal menurut L.W.C Van Den Berg, seorang ahli hukum belanda bahwa hukum Islam harus diterapkan pada umat Islam, karena bagi mereka yang menganut agama berarti pula menerima agama tersebut sepenuhnya. Teori ini akhirnya lebih dikenal oleh ahli hukum dengan doktrin ”Reception In Complex”
Dan jauh sebelum kolonial Belanda, hukum Islam telah diterapkan di Indonesia melalui “Tahkim”, yaitu memercayakan urusan kepada kyai dan qodhi (hakim) yang di tunjuk oleh kerajaan Islam.[6]
Muhammad Qutb menyebutkan tiga target yang ingin dicapai Barat dan Salibisme dalam menanamkan faham Nasionalisme ke dalam jiwa-jiwa kaum muslimin, di antaranya:
Satu : Memalingkan gerakan jihad Islami yang menjadi momok bagi para penjajah Salibisme menjadi gerakan perjuangan Nasionalisme, seperti apa yang dilakukan Sa’ad Zaghlul di Mesir, dan Soekarno di Indonesia, serta Syarif Husein di Hijaz.
Dua : Memalingkan gerakan jihad Islami menjadi gerakan politik yang mau menerima penyelesaian diplomasi, seperti yang terjadi pada PLO di bawah pimpinan Yasser Arafat.
Tiga : Mempermudah operasi Westernisasi di sela-sela pemahaman Nasionalisme.[7]
[4] Dr.Zakariya Abdur Rozaq Al Misry, Al Wala’ lil Ifta’ Baina Al Haqaiq Wa as- Syubhat, Muassatu ar-Risalah, 1412 H-1991 M, Hal 39.