Muncul raja, kaisar, atau sultan yang anehnya selalu ada pengikut itu jika ditelusuri memang berasal dari khayalan tentang kekuasaan. Hampir serupa dengan kasus nabi atau malaikat palsu seperti Mozadek, Lia Eden atau lainnya.
Bisa berasal dari mimpi, wangsit, atau halusinasi. Paham yang lebih universal juga berasal dari khayalan yang dikemas dengan narasi keilmuan seperti komunisme, kapitalisme, dan di dalam agama juga ada.
Khayalan kekuasaan dapat memproduk segala macam. Ketika “competitiveness” lemah yang paling mudah memang klaim. Tidak tanggung tanggung mendunia seperti Keraton Sejagat atau Sunda Imperium. Kini juga perlu ditelusuri lagi di Jawa Barat akan bertambah khazanah “kerajaan baru” yang diawali dari “Forum Silaturahmi Sunda Sadunya”. Sentimen budaya yang bisa bergeser ke arah kekuasaan.
Ciri kerajaan yang utama adalah berpusat pada kekuasaan raja, kekerabatan (nepotisme), lalu keseragaman karena anti demokrasi, hubungan patron klien kadang penghambaan, anti kritik, serta tidak peduli pada kualitas sang raja apakah cerdas atau dungu, berpandangan tajam dan luas atau planga plongo, bijak atau zalim, bermoral atau tidak. Simbolisasi lebih penting daripada esensi dan misi pelayanan publik.
Nah yang patut diwaspadai sebenarnya bukan kerajaan di negeri republik, tetapi kekuasaan di negeri republik yang merasa kerajaan.
Presiden rasa raja. Menjadi republik khayalan yang seolah berskala gaul dunia padahal kualitas lokal, dipilih tapi direkayasa, demi rakyat namun kepentingan pejabat, memberantas korupsi padahal memelihara pelaku korupsi, sederhana dan tidak ambisi sambil memeluk erat kursi.
Republik khayalan seperti Dunia Fantasi yang di dalamnya ada istana boneka. Berperahu dengan nyaman tapi semua yang ada di sekitar hanya boneka. Menikmati kepalsuan.
Kasihan bangsa jika dipimpin oleh orang yang penuh halusinasi. Citra yang utama bukan cita cita atau realita. Raja nista yang dicitrakan mulia.
*) M Rizal Fadillah
Pemerhati politik