Hersubeno Arief: Kepentingan Bisnis dan Politik Cina, di Balik Pilpres 2019

Ribut-ribut proyek hunian yang ditawarkan sampai ke negeri Cina kian memanas bersamaan dengan pelaksanaan Pilkada DKI 2017. Pasangan inkumben Ahok-Djarot membela mati-matian proyek ini. Sementara penantangnya Anies-Sandi menjadikan penghentian proyek sebagai janji kampanye.

Ketika pasangan Anies-Sandi memenangkan pilkada, kelanjutan nasib proyek reklamasi sudah bisa diduga. Sesuai janji kampanye mereka, megaproyek itu harus dihentikan. Selain menghancurkan lingkungan, pembangunannya juga menabrak prosedur perizinannya. Prinsip para taipan ini : Bangun dulu, ijin urusan belakang.

Dua bulan menjelang pelantikan gubernur/wakil gubernur DKI tanggal 16 Oktober 2017, Jokowi bergerak cepat. Dia menerbitkan sertifikat Pulau C dan D pada tanggal 20 Agustus 2017. Langkah ini menjadi semacam fait accomply bagi pasangan Anies-Sandi.

Pola “penyelesaian” ala reklamasi Teluk Jakarta inilah yang kini kembali dimainkan oleh Luhut Panjaitan dan Jokowi. Mereka kelihatannya sudah melihat tanda-tanda kekalahan. Karena itu harus dikebut sebelum pilpres. Kali ini prinsipnya: kalah menang, urusan belakang.

Jebakan utang dan geopolitik global

Proyek OBOR mulai diperkenalkan oleh Presiden Cina Xi Jinping pada tahun 2013. Karena melimpahnya cadangan devisa, pemerintah Cina menyediakan anggaran sebesar US$ 4.4 triliun sebagai pinjaman untuk pembangunan di 65 negara di Asia, Afrika, dan Eropa.