Lantas masih perlukan pemilu dilaksanakan bila hasilnya demikian? Mari kita lihat hasil the World Values Survey periode 2010-2014. Kurang dari separo responden (41,5%) menyatakan setuju pemilu penting bagi sistem demokrasi. Hasil ini menurun 7% dari putaran sebelumnya.
Survey yang dilakukan dalam putaran 2005-2009 mencatat hasil yang lebih baik yakni 52,3%.
Sheema Syah, pemerhati pemilu dunia, menilai pemilu tampaknya mulai kedodoran hilang sinarnya. Kenapa? Padahal sudah jelas, pemilu adalah satu-satunya platform paling demokrasi untuk memilih pemimpin dimana rakyat biasa-biasa tiba-tiba mempunyai ‘power’ di bilik suara? Tapi benarkah ‘power’ itu dimiliki rakyat?
Syah tidak terlalu kaget dengan hasil survey tersebut sebab menurut analisanya pemilu di seluruh dunia kini sudah mulai kehilangan makna. Seiring dengan perjalanan waktu, elit menggunakan posisi dan kekuasaaanya secara perlahan menjauhkan rakyat dengan proses pemilu itu sendiri. Walhasil pemilu tak lebih dari uang dan strategi elit untuk menentukan siapa yang terpilih.
Persis strategi yang dimainkan oleh Julis Cesar dalam meraih kekuasaan. Menelikung prinsip demokrasi di Republik Romawi, dan rakyatpun tak lagi punya ‘power’ dalam bilik suara.
Dalam konteks di Indonesia, irama pemilu curang dan hasilnya tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Republik Kongo. Narasi rekonsiliasi ditebar para elit kubu sebelah untuk mengedapankan persatuan, akan tetapi mengecilkan persoalan riil yang melukai rakyat Indonesia yakni kecurangan TSM.
Lantas masih adakah demokrasi yang tersisa? Bila pemilu kemudian hanya menjadi ajang kontestasi elit untuk meraih kekuasaan dan sumber daya. Kehadiran rakyat dibutuhkan untuk mengisi perolehan suara mendapatkan kursi. Maka memang pemilu tak lebih hanya sebuah kepalsuan demokrasi.
*jelang keputusan MK 27 Juni 2019
Penulis: Dia Islamiati Fatwa [sumber]