Persekongkolan mereka kemudian dikenal dengan nama the First Triumvirate. Tak langgeng memang, tapi persekutuan ini nyaris sempurna, yakni gabungan politisi yang haus kekuasaan, militer dan pengusaha tuan tanah yang kaya. Mereka menggunakan segala rupa strategi, manipulasi dan suap untuk mengalahkan Marcus Bibilus sehingga mampu mengantarkan Julis Caesar menduduki posisi tertinggi di Republik Romawi.
Cerita soal kecuranggan pemilu memang gurih dan ternyata tak pernah berhenti. Praktek ini tak juga mereda di era modern. Pemilu di Kongo December 2018, termasuk berwarna. Meskipun bukti kecurangan cukup kuat diajukan ke pengadilan, hasilnya bisa ditebak, rakyat harus menelan kepahitan menerima Felix Tshisekedi sebagai presiden.
Meskipun ragu dengan hasil pemilu, Amerika dan Uni Eropa serta negara-negara lainpun antri berlomba mengucapkan selamat menyatakan Felix sebagai ‘pemersatu’ rakyat Kongo yang akan menghadirkan ‘kestabilan’. Prioritas negara-negara maju itu tampaknya bukan pada apa yang menjadi keinginan rakyat di bilik suara, tapi lebih pada ‘kestabilan’ kawasan sehingga kepentingan mereka terjaga.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa tak mau ketinggalan, menyerukan rakyat Kongo untuk menerima hasil pengadilan agar konsolidasi demokrasi dapat dilakukan. Konsolidasi? Bagaimana rakyat Kongo bisa terlibat dalam konsolidasi demokrasi ketika pemilu dilaksanakan dengan penuh kecurangan? Pertanyaannya adalah masih adakah demokrasi bagi rakyat Kongo untuk melakukan konsolidasi?