Kenapa Demo Saat Ini Selalu Anti Klimaks?

Kedua. Secara locus dan tempus (tempat dan waktu) juga tidak serentak. Masing faksi gerakan seolah-olah bergerak sendiri di hari yang berbeda-beda, di tempat  yang berbeda juga. Walaupun tuntutan yang disampaikan selalu sama.

Sehingga, setiap aksi demonstrasi tidak menpunyai “efect kejut” yang kuat terhadap publik dan pemerintah.

Ketiga. Para kelompok demonstran dan oposisi ini belum mempunyai yang disebut namanya kekuatan “Hard Power”. Apapun namanya, setiap gerakan harus mempunyai “Hard Power” sebagai senjata “pemaksa” yang ditakuti pihak penguasa. Kekuatan “Hard Power” itu setidaknya ada tiga hal yaitu ; Kekuatan kelompok basis massa yang besar terkonsolidasi, sistematis yang bisa digerakkan setiap saat dimana jumlahnya sudah jutaan tidak ratusan ribu lagi. Selanjutnya dukungan militer aktif plus dengan pasukannya, dan dukungan kuat dan konkrit luar negeri. Nah tiga hal ini yang belum dipunyai oleh para demonstran daj oposisi.

Keempat. Harus kita akui, kelompok Oligharki yang menguasai pemerintah hari ini masih cukup kuat dan terkonsolidasi. Artinya, infrastruktur kekuasaan seperti aparat hukum, inteligent, media, dan logistik uang, menjadi senjata utama rezim dalam menangkal, mencegah, mengembosi, dan memukul setiap gerakan aksi.

Mulai dari strategi propaganda isu media, penyekatan arus demo, intimidasi kepada tokoh, penetrasi logistik, infiltrasi ke tubuh kelompok untuk “mengdrive” isi tuntutan dan pola gerakan, hingga menyiapkan pasukan pemukul yang kuat, semua itu efektif dilakukan.

Kelima. Belum munculnya tokoh sentral atau lokomotif perjuangan yang kuat dan mampu menyatukan seluruh komponen perjuangan. Apakah itu berupa figur orang maupun ormas. Setidaknya seperti aksi 212 dengan figur utama perlawanannya Imam Besar Habieb Rizieq Shihab dengan GNPF MUI sebagai payung organisasinya tempat berhimpun.

Keenam. Keberhasilan rezim melakukan teror dan intimidasi kepada kelompok oposisi, yang membuat “ciut” nyali kelompok oposisi maupun mahasiswa.

Teror dan intimidasi ini berupa penangkapan aktifis, persekusi dan kriminalisasi bahkan hingga pembunuhan seperti kasus KM 50, termasuk juga aktifis Densus 88 yang setiap saat tersiar beritanya mengenai penangkapan para aktifis Islam.

Dan teror serta intimidasi seakan mendapatkan legitimasi hukum dari penguasa. Tak ada HAM, tak ada hukuman bagi para pelakunya.