Jika tetap berjalan mulus skenario politik bahwa wujud RUU HIP ini menjadi undang-undang, maka keempat partai di atas tentu dapat dipandang oleh rakyat dan bangsa Indonesia telah “lupa kacang dari kulitnya” atau lebih berat predikatnya adalah telah “menghianati” misi awal dari kelahirannya yang anti PKI dan Komunisme.
Nilai relijiusitas yang dihormati pun telah diabaikan. Sekularisme dan pragmatisme telah menjadi pilar.
Saatnya koreksi diri dari sikap politik mengentengkan masalah sehingga RUU HIP yang bernuansa Orde Lama ini dapat lolos dengan mudah. Jika telah menjadi UU maka dipastikan akan menjadi landasan untuk melakukan sosialisasi Pancasila dalam versi yang keluar dari makna dan rumusan 18 Agustus 1945.
Konsensus yang dicapai dengan susah payah akhirnya justru hancur. Konflik ideologi pun terpaksa harus terjadi lagi.
Golkar, Gerindra, Demokrat, dan Nasdem kembalilah ke jalan yang benar. Jalan adil dan konsensus. Bukan terbawa arus permainan kekuasaan yang menyandera. Koalisi adalah hal yang wajar tetapi kemandirian ideologis harus tetap terjaga.
RUU HIP membuat langkah goyah dalam perspektif ideologi Pancasila yang tersimpangkan.
Jangan karena sejumput kekuasaan telah mengubah pendirian dan belok dari prinsip perjuangan. Lalu terjajah oleh dinamika. Akhirnya rakyat merasa dikorbankan oleh permainan yang sebenarnya tidak menyentuh kepentingan rakyat itu sendiri.
Aspirasi rakyat yang menolak RUU HIP moga ditangkap. Muatan Haluan Ideologi Pancasila buka porsi undang-undang tetapi ketetapan MPR. Keliru menurunkan Pancasila menjadi nilai instrumental.
Rakyat menolak karena ada “down grade” kewibawaan ideologi Pancasila. Undang-undang itu bukan tempat yang tepat untuk mengatur “staats fundamental norm”.
Moga pada tahapan ini pilihan cerdas dan jernih dapat diambil. Tarik dan hentikan pembahasan RUU.
Bawa ke ruang yang lebih terhormat dan tepat menurut konstitusi untuk menuangkan “Haluan Ideologi Pancasila” sebagai produk hukum MPR yaitu Ketetapan MPR.
Kembalilah ke jalan yang benar. (end)
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan kebangsaan.)