Oleh : Ahmad Khozinudin – Sastrawan Politik
Lagi, akrobat hukum diparodikan di MK. Setelah menolak permohonan pemohon dan melegitimasi Pilpres curang, tiga Hakim sampaikan Dissenting Opinion (baca: di-setting Opinion: pendapat yang diseting).
Adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat tampil dengan peran ‘Hero’, menyampaikan pendapat berbeda dengan putusan yang dibacakan MK. Saldi Isra misalnya, begitu cetar membahana menyatakan ada politisasi bansos dan menyatakan semestinya di sejumlah wilayah dilakukan Pemilu ulang.
Saldi, memainkan peran ulang di perkara 90 yang melegitimasi anak haram konstitusi. Saldi, kala itu juga menyampaikan pendapat berbeda. Namun, pendapat ini tak bernilai karena yang mengikat adalah putusannya, bukan pendapatnya yang berbeda.
Hari ini, dalam perkara sengketa Pilpres, Saldi kembali ‘Copy Paste’ peran di perkara 90 yang meloloskan Gibran maju Pilpres. Saldi, kembali menyampaikan pendapat yang berbeda, yang sekali lagi tidak memiliki nilai secara hukum. Pendapat Saldi ini secara substansi tak ada bedanya dengan sejumlah Amicus Curiae yang disampaikan sejumlah tokoh: tak bernilai.
Yang mengikat bahkan bersifat final adalah putusan MK yang melegitimasi kecurangan. Putusan yang amarnya menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Parodi Saldi, Eni dan Arif Hidayat ini, hanya berfungsi memberi PHP kepada rakyat. Seolah, masih ada hakim yang jujur di MK, hanya kalah suara. Seolah, MK tidak brengsek, hanya oknum hakim yang brengsek. Seolah, kedepan masih ada harapan membawa perkara ke MK.
Padahal, Disetting Opinion ini makin menyakitkan bagi rakyat. Persis, seperti akting anggota DPR yang walk out menolak UU Omnibus Law, tapi sejatinya tidak bernilai. Karena secara kelembagaan DPR telah mengesahkan UU zalim.
Begitu juga Saldi Isra dkk, pendapatnya yang berbeda tidak mengubah keputusan kelembagaan MK yang melegitimasi kecurangan. Di-setting Opinion Saldi, hanya melengkapi dagelan hukum yang sedang dipertontonkan MK kepada segenap rakyat Indonesia.
Megawati yang memelas dan mengeluh ke MK melalui Amicus Curiae, tidak memiliki nilai sedikitpun. Tak dianggap. Begitu juga, pernyataan para purnawirawan jenderal yang berkumpul di rumah Sutiyoso, juga tak memiliki bobot. Semua diabaikan.
Semua kecil Dimata MK. Karena sekali lagi, otoritas hukum tak akan mampu memberikan keadilan pada kasus kecurangan politik.
PDIP hanya bersandiwara soal hak angket. PDIP, sedang bermain drakor sebagai oposisi. Berlagak melawan via Amicus Curiae, tapi tidak menggunakan kekuatan politik di DPR dan menteri di kabinet, untuk melawan kecurangan Pemilu.
Boleh jadi, sebentar lagi PDIP, NasDem dan PKB merapat ke Prabowo. Maka lengkap sudah penderitaan rakyat. Setelah dicurangi, kemudian dikhianati. Itulah demokrasi. [sumber: Faktakini].