Sejak pecah dari Persatuan Mahkamah Islamiyah, kelompok Al-Shahab makin kuat dan berhasil menguasi sejumlah wilayah penting di Somalia, antara lain Kismayo, Merca dan sebagian besar wilayah selatan Somalia.
Persatuan Mahkamah Islamiyah memegang kendali pemerintahan di Somalia selama enam bulan sebelum ditumbangkan oleh pasukan pemerintah Federal yang didukung pasukan dari Ethiopia tahun 2006 lalu, yang menjadi awal konflik di negeri itu hingga hari ini. Kehadiran pasukan Ethiopia di kancah konflik Somalia, mendapatkan dukungan dari AS.
Saat ini kelompok Al-Shahab bisa dikatakan menjadi kelompok Islamis yang paling berkuasa di Somalia. Namun kehadiran mereka membuat rakyat Somalia ketakutan dan merasa tidak aman. Sebagian besar rakyat Somalia menilai sikap kelompok al-Shahab otoriter, fanatik dan garis keras sehingga banyak rakyat Somalia yang merasa bahwa masa pemerintahan Persatuan Mahkamah Islamiyah jauh lebih baik.
Kelompok Al-Shahab keluar dari Persatuan Mahkamah Islamiyah karena tidak sepakat dengan langkah yang diambil Mahkamah bernegosiasi dengan pemerintah sehingga terbentuklah pemerintahan transisi Transitional Federal Government (TFG) yang dipimpin oleh Presiden Abdullahi Yusuf.
Al-Shahab menolak bekerjasama lagi dengan Persatuan Mahkamah Islamiyah dan lebih memilih berkolaborasi dengan kelompok Kaanboni pimpinan Hassan Turki serta kelompok kecil bernama Front Islami. Kelompok Kaanboni oleh pemerintah AS dimasukkan dalam daftar kelompok teroris, begitu pula al-Shahab saat menyatakan keluar dari Mahkamah Islamiyah.
Citra Al-Shahab identik dengan kelompok Islam garis keras di Somalia. Pada pertengahan bulan Agustus, Al-Shahab berhasil menguasai wilayah Jubba, Jubba Tengah dan Gedo dan berbagi kekuasaan dengan milisi-milisi serta pemerintahan lokal.
Menurut sumber-sumber di wilayah itu, kehadiran Al-Shahab menimbulkan ketakutan di kalangan warga lokal karena sikap para milisi Al-Shahab yang kerap mengancam mereka. Warga setempat hanya punya dua pilhan, mematuhi perintah Al-Shahab atau mengungsi ke negara lain.
"Anda diam dan mematuhi perintah kelompok Islamis itu, atau pindah ke negeri-negeri tetangga, atau mati begitu saja di dunia ini," kata seorang warga.
Pasukan Al-Shahab juga bisa bebas berkeliaran di ibukota, Mogadishu dengan menggunakan kendaraan rampasan milik pemerintah. Tak ada yang berani melawan mereka. Apalagi pasukan pemerintah, pasukan Ethiopia dan pasukan perdamaian dari Uni Afrika kebanyakan terkonsentrasi di bandara, pelabuhan, istana presiden dan kamp-kamp militer. Pasukan-pasukan pemerintah dan pasukan asing kerap menjadi korban penyergapan pasukan Al-Shahab.
Al-Shahab juga dilaporkan sering mengancam para pekerja kemanusiaan yang membuka kantor di Somalia dan siapa saja yang dianggap mendukung pemerintahan transisi Somalia.
Seiring dengan kekalahan-kekalahan yang dialami pasukan pemerintahan transisi Somalia selama lima bulan terakhir, aksi-aksi serangan terhadap para aktivis sosial kemasyarakatan, pekerja LSM dan aktivis bantuan internasional semakin meningkat. Sebagian dari mereka diculik dan tidak diketahui nasibnya.
Eksistensi Al-Shahab di Somalia bukan hanya memicu ketakutan dan kekhawatiran di Somalia, tapi juga dunia internasional terhadap kondisi kemanusiaan yang makin memburuk di negeri itu. Keinginan untuk menarik pasukan asing, terutama pasukan Ethiopia pun menjadi dilematis.
Buah Simalakama
Pada awalnya, Al-Shahab yang kala itu masih bergabung dengan Persatuan Mahkamah Islamiyah bersama-sama berjuang untuk mengusir pasukan Ethiophia yang dianggap sudah ikut campur dalam urusan dalam negeri Somalia.
Ethiophia berani mengirimkan pasukannya ke Somalia karena mendapat dukungan dan restu dari AS untuk menumbangkan pemerintahan Mahkamah Islamiyah.
Namun sekarang konflik Somalia makin rumit, karena Al-Shahab dan Persatuan Mahkamah Islamiyah justeru gontok-gontokan dan saling serang. Mahkamah Islamiyah pernah menangkap sejumlah pasukan Al-Shahab karena mencurigai kelompok itu menculik seorang pejabat Mahkamah Islamiyah.
Pasukan Ethiopia sendiri tidak berkutik menghadapi perlawanan kelompok Al-Shahab,sehingga kehadiran mereka tidak efektif lagi untuk melindungi pemerintahan transisi Somalia. Bahkan, pemerintah Ethiopia mulai menarik pasukannya dari Somalia, yang sudah tidak bernyali lagi, ketika menghadapi kekuatan Islam. Sementara kelompok Al-Shahab makin menunjukkan kekuatannya dan berhasil memperluas daerah kekuasaannya.
Seandainya Ethiopia mundur dari Somalia, setidaknya mereka tidak terperangkap dalam kekacauan akibat konflik internal di negeri itu. Meski dampaknya akan menimbulkan kevakuman kekuasaan yang potensial memicu konflik lebih dalam di Somalia.
Tapi pemerintahan di Addis Ababa, ibukota Ethiopia, nampaknya akan memilih jalan yang mereka anggap terbaik di tengah situasi yang sangat buruk, keluar dari Somalia. Somalia membutuhkan kekuatan baru, yang lebih efektif, khususnya kalangan Islam, yang kini sudah memegang pusat pemerintahan. Apakah akan efektif pemerintahan di Somalia nanti?(ln/berbagai sumber)