Kekecewaan Pragmatis dan Kekecewaan Ideologis

Di bawah level itu adalah perjuangan kelompok kepentingan. Dalam mendukung sebuah perolehan kekuasaan, ekspektasi pendukung tentunya tercermin dari keberlanjutan keterlibatannya dalam kekuasaan yang direbut. Hal ini merupakan jembatan bagi karir politik, uang maupun keberhargaan mereka di mata publik.

Kekecewaan yang diakibatkan kegagalan tipe ini adalah kekecewaan pragmatis.

Dalam lingkungan Prabowo, kekecewaan terbesar adalah kekecewaan utama, atau kekecewaan ideologis. 70-80% pendukung Prabowo adalah kelompok yang dijanjikan Prabowo dalam tema ideologis, yakni kedaulatan ekonomi, anti aseng dan asing, anti kemiskinan, pembukaan lapangan kerja dan macan asia, seperti dalam bukunya “Indonesia Paradoks”. Sebagian kecil non ideologis, yang menganggap Prabowo tidak pantas menjadi anak buah Jokowi.

Dalam lingkungan Jokowi, sampai saat ini yang muncul adalah kekecewaan pragmatis. Alasan mereka lebih banyak bukan karena portofolio kementerian dan menteri yang diangkat berbeda value nya, melainkan karena menteri itu tidak berkeringat maupun alasan kenapa yang diangkat bukan kelompok-kelompok relawan yang sudah berjuang sejak 2014?

Sedangkan masalah Papua terletak diantara dua jenis kekecewaan itu. Kabinet Jokowi bukanlah kabinet yang mewakili daerah. Jokowi misalnya menempatkan tiga orang Batak Kristen di kabinetnya dari asal daerah Sumatera Utara. Sedangkan Sumatera Utara adalah populasi dengan 70% Muslim. Aceh dua orang, yang keduanya mungkin tidak mewakili spirit Aceh baru paska Helsinki Agreement. Tanpa orang Padang. Dua orang Palembang, yang lebih mencerminkan birokrasi bukan asal usul. Tanpa orang Ambon/Maluku, dan lainnya. Cerminan “wawasan nusantara NKRI” ini khas jaman Sukarno dan Suharto. Dalam kabinet Jokowi, kabinet kerja (kerja, kerja, kerja), mungkin preferensi utama penangkatan adalah kemampuan bekerja. Namun, kalau melihat proporsi orang-orang kaya dan pengusaha yang dominan, bisa saja ini politik balas budi.

Terlepas dari urusan kabinet kerja, kegelisahan rakyat Papua dan kesadaran identitas baru sebagai bangsa Melanesia, perlu diredam dengan memberikan kursi keterwakilan bagi Papua di kabinet. Dalam rezim siapapun. Nah, ketika ini tidak terjadi wajar saja masyarakat Papua kecewa. Tapi kekecewaan ini bukan pragmatis bukan pula ideologis. Mungkin diantaranya.

Penutup

Rakyat Indonesia yang kecewa atas hasil pilpres 2019 berbiaya 25 Triliun ini perlu menginsyafi dirinya untuk tidak tenggelam dalam kekecewaan yang lama. Kekecewaan dapat mengakibatkan “mental disorder” atau “skizofrenia” atau gila. Khususnya bagi para pemula di dunia politik.

Kedepan biarkanlah urusan politik ditangani oleh orang-orang yang memang mendedikasikan dirinya pada politik, baik pada politik formal, maupun civil society.

Selanjutnya, kekecewaan harus diidentifikasikan secara benar. Orang-orang yang kecewa dengan Jokowi dan Prabowo secara ideologis, dapat memikirkan sebuah dialog tentang Indonesia yang berbasis nilai, seperti cita-cita founding fathers.

Jangan sampai kelompok-kelompok yang kecewa karena urusan pragmatis bercampur baur dengan kaum ideologis. Sebab, kaum ideologis selalu memikirkan perjuangan revolusioner.(*end)

Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, CEO Sabang Merauke Circle (sumber)