Siang hari kemarin saya membaca organ militan pendukung Jokowi, Projo, mengeluarkan pernyataan “pamit” pada Jokowi. Pernyataan ini menyindir bahwa tidak selayaknya kabinet diisi lawan politik Prabowo dan menteri tak berkeringat, seperti Wishnutama.
Menarik lagi pagi tadi, sebuah tulisan sosok pernah jadi “guru politik” saya, Indro Tjahyono, tersebar di beberapa group WA, mengisahkan kekecewaan para pendukung Jokowi yang bak habis manis sepah dibuang. Menurutnya, hubungan antara pendukung dan yang didukung, jika terjadi “pengkhianatan”, maka akan berbuah dendam. Dan dendam ini akan berujung pada gerakan atau gugatan yang meruntuhkan.
Kekecewaan demi kekecewaan kelompok masyarakat, indivual maupun group, tidak kunjung berhenti sejak pilpres 2019 selesai. Beberapa waktu yang lalu kekecewaan datang dari kelompok pendukung Prabowo, karena Prabowo meninggalkan gelanggang, lalu menyerah dan bergabung dengan musuh politiknya Jokowi. Keputusan Prabowo yang sangat tiba-tiba berbalik, dari musuh menjadi anak buah Jokowi, menggoreskan kekecewaan besar. Sumpah serapah bertebaran di medsos. Djoko Edhi Abdurrahman, mantan anggota DPR RI, mengatakan darah Prabowo adalah darah nyamuk, ketika dia kaitkan dengan sumpah Prabowo “Akan Berjuang Sampe Titik Darah Penghabisan”.
Lalu bagaimana kita melihat kekecewaan ini?
Kekecewaan adalah sebuah perasaan marah atau tidak puas atas gagalnya pencapaian yang diharapkan. Setiap orang maupun kelompok sosial mempunyai preferensi atau suatu set keinginan/nilai, yang diperjuangkan untuk menjadi acuan dalam sistem sosial. Dalam konteks politik pemerintahan, hal itu ditunjukkan oleh menteri-menteri yang ditunjuk presiden untuk menjalankannya. Tentu selain janji politik presiden itu sendiri.
Itu adalah kekecewaan tingkat utama, ideologis. Yakni sebuah nilai merupakan sebuah pertarungan.