by M Rizal Fadillah
Kekecewaan atas perilaku rezim Jokowi sudah merata di kalangan rakyat Indonesia. Yang belum serempak adalah langkah bersama untuk memakzulkannya. Jokowi sudah tidak dapat diharapkan atau menjadi beban berat bagi bangsa. Keparahannya sudah menjadi “common sense” bahkan Jokowi nyaris merupakan “common enemy”.
Sebab kekecewaan tentu beragam dari masalah ekonomi, budaya, hukum maupun politik. Intinya Jokowi adalah pemimpin yang buruk.
10 tahun memerintah bukan membuat bahagia rakyat tetapi menyengsarakan. Jokowi terlalu banyak bohong dan pamer diri. Terakhir sibuk untuk menggemukkan keluarga. Nepotisme.
Para agen membingkai dengan polling kepuasan. Rakyat dibodohi dengan angka kepuasan artifisial yang di up load lembaga hoax beberbayar. Menjual prestasi pembangunan proyek yang sesungguhnya tidak berguna, boros dan mangkrak. Apa urgensi IKN, Rempang atau Kereta Cepat ? Publik menduga itu hanya proyek layanan untuk kepentingan China. Maklum pemimpin kita berjiwa budak (sklaven geist).
Pemilu khususnya Pilpres yang penuh rekayasa adalah puncak dari kegiatan yang memuakan rakyat. Terbaca mulai dari pemaksaan Gibran yang melabrak norma dan etika, penyimpangan dana bansos, cawe-cawe brutal, Sirekap mesin otak atik angka, Quick Count horor, hingga penggelembungan suara spesial PSI, partai anak sendiri. Jokowi itu memang penjahat konstitusi dan demokrasi.
Pemilu khususnya Pilpres sesungguhnya memiliki tiga kategori. Pertama sebagai wujud dari pelaksanaan demokrasi. Ini idealnya. Kedua, kepura-puraan dalam berdemokrasi (pseudo-democracy). Ini kebanyakan praktek di berbagai negeri. Ketiga, sarana penguat atau peneguh oligarki. Ini yang terjadi di bawah rezim Jokowi.
Kecurangan atau menghalalkan segala cara yang dilakukan dalam Pemilu atau Pilpres 2024 adalah mainan untuk meneguhkan kekuasaan kaum oligarki. Kelompok kecil yang menguasai dan mengacak-acak negeri. Betapa nestapanya Indonesia saat Pemilu justru menjadi jalan untuk menyerang dan mengangkangi demokrasi. Ini namanya demoralisasi. Negara yang tidak bermoral, primitif dan biadab.
Kekecewaan kepada Jokowi sudah merata. Dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Artinya dari akar rumput hingga petinggi. Petinggi yang sebagian besar masih memiliki harga diri dan cinta akan kebaikan negeri. Sesungguhnya semua menanti lengsernya Jokowi dan hancurnya dinasti.
Rakyat berharap agar mahasiswa dan buruh bergerak, emak-emak berteriak, santri berontak serta ulama berfatwa bahwa jihad itu mutlak. TNI dan Polisi harus memihak kepada masyarakat bawah yang semakin terdesak. Rakyat yang bernafas sesak dan menangis terisak. Kepalanya terinjak oleh sepatu penguasa yang sedang tidak sehat, sekarat dan kosong otak.
Kini atas Pemilu curang laporan ke Bawaslu telah dilakukan, KPU bukan hanya lalai tapi terduga menjadi bagian dari perbuatan pidana baik soal 54 juta DPT misterius, aplikasi Sirekap yang tidak terkalibrasi dan memenuhi syarat ISO 270001, maupun eror angka-angka suara yang memanipulasi suara C1 hasil TPS. Melambung suara tina-tiba secara mencolok adalah gambaran dari kecurangan.
Gerakan penyelidikan melalui proses politik sangat penting dan ditunggu rakyat. Wacana penggunaan Hak Angket mendapat dukungan besar. Presiden, KPU, Bawaslu dan lainnya menjadi obyek dari penyelidikan. Audit forensik Sirekap penting untuk dilakukan. Kecurangan akan memperoleh bukti-bukti. Pelaku kejahatan direkomendasi untuk diproses hukum. Presiden dapat terkuak berbagai kejahatannya.
Kekecewaan pada rezim Jokowi sudah merata. Keangkuhan dan kenekadan Jokowi tidak akan sanggup untuk menahan besarnya kekecewaan rakyat yang akan menggumpal dan menggelinding dalam berbagai bentuk gerakan perlawanan.
Rezim Jokowi cukup sampai sini. Pelanjutnya hanya mewarisi kezaliman. Rakyat akan terus bergerak dan bergerak.
Ayo rakyat bergerak 1, 5, 6 Maret 2024 dan seterusnya. Kepung DPR RI. Dukung Hak Angket lalu Makzulkan dan Penjarakan Jokowi. Suara rakyat adalah suara Tuhan–Vox populi vox Dei.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung,