Kecendrungan rezim sekarang semakin dzolim dan represif pun banyak diungkap. tindakan hukum yang sering dirasakan atau dianggap berat sebelah yang diam-diam sebenarnya justru merugikan petahana sebab semakin mensolidkan sikap pesaing yang akan diwujudkan nanti pada hari H dengan tidak memilih petahana. di depan mata, rakyat negeri ini disuguhi drama kriminalisasi para ulama. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh cukup kuat kemudian dicari-cari kesalahannya. Kenyataan ini terlihat setelah ada Aksi Bela Islam.
Tak hanya itu, para aktivis media sosial pun harus rela dicokok kepolisian dengan tuduhan melanggar UU ITE. Organisasi kemasyarakatan Islam HTI dibubarkan tanpa proses pengadilan. Pengajian dibubarkan. Belakangan orang gila mencari sasaran tokoh umat Islam. Hal yang paling menonjol adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa proses pengadilan.
Terbitnya Perppu Ormas yang mengandung sejumlah poin-poin yang bakal membawa negeri ini kepada era rezim diktator yang represif dan otoriter. Semestinya Pemerintah menjadi pihak pertama dalam ketaatan kepada hukum. Bukan justru menghindari dan ketika merasa kesulitan dalam menghadapi sebuah Ormas lalu membuat peraturan baru. Secara substansial, lanjut Ismail, dihilangkannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran Ormas (Pasal 61) membuka pintu kesewenang-wenangan karena pemerintah akan bertindak secara sepihak dalam menilai, menuduh, dan menindak Ormas, tanpa ada ruang bagi Ormas itu untuk membela diri.
Anehnya, kasus-kasus yang sangat nyata pelanggarannya terhadap hukum yang dilakukan oleh para pendukung penguasa tak tersentuh. Kasus Victor Laiskodat yang sudah dilaporkan oleh empat fraksi di DPR menguap. Kasus Ade Armando tak ada kabar beritanya. Para penghina ulama bergentayangan dengan bebas. Bukankah seharusnya hukum tidak pandang bulu? Tak salah bila kemudian masyarakat Muslim menganggap rezim ini anti Islam.
*Penulis: Fajar Kurniawan, Analis Senior PKAD (Jk/swamedium)