Isu tentang kekejaman ISIS atau IS (Islamic State) terus bergulir ditengah-tengah masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hampir semua media massa, baik cetak maupun elektronik membicarakan tentang ISIS. Tentu saja yang dibicarakan bukanlah hal yang baik, melainkan sebaliknya, media selalu mengumbar hal yang buruk tentang ISIS.
Ketika ada berita tentang ISIS yang muncul di media, maka yang pertama kali dipublikasikan adalah tentang kekerasannya, kemudian dikaitkan dengan jaringan terroris internasional (menurut media), seperti Al-Qaeda, Boko Haram, dll. Tak hanya itu, sikap media yang selalu memuat berita buruk tentang ISIS pun seakan ingin menarik garis penghubung antara ajaran islam dengan terrorisme. Anehnya, issue tentang ISIS ini kenapa baru “meledak” pada pertengahan tahun 2014, sedangkan kehadiran ISIS dalam kancah jihad di timur tengah sudah dari beberapa tahun sebelumnya.
Media lokal dan internasional bahu-membahu untuk memberikan citra buruk ISIS kepada masyarakat, sehingga masyarakat awam yang awalnya tidak mengerti apa-apa, jadi terprovokasi oleh berita yang ditayangkan oleh media. Masyarakat dibuat takut oleh media dengan adanya issue ISIS tersebut.
Dan ketika masyarakat merasakan ketakutan itulah, muncul sosok “pahlawan” yang berperan sebagai penolong masyarakat, siapa lagi kalau bukan Densus 88 anti terror. Dengan berita yang begitu masif diberikan oleh media kepada masyarakat, hingga akhirnya membuat masyarakat meyakini bahwa ISIS adalah kelompok terroris internasional, maka disaat yang bersamaan pula, densus 88 beraksi guna menangkapi satu persatu aktivis islam. “ketakutan” masyarakat seakan menjadi restu bagi Densus 88 untuk menangkap atau bahkan “menghabisi” nyawa seseorang yang diduga sebagai terroris yang berafiliasi dengan ISIS.
Issue ISIS yang gencar diberitakan media, adalah sebuah contoh nyata kekalahan media kapitalis dalam menghadang laju pertumbuhan benih-benih ideologi islam. Issue tentang terrorisme sebenarnya sudah tak laku lagi dijual di negeri ini, karena masyarakat justru cenderung lebih memperhatikan tentang kesejahteraan yang dirasa tak mereka dapatkan selama menjadi warga negara Indonesia. Masyarakat lebih tertarik terhadap issue korupsi para penjabat negara, kenaikan BBM, juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi-sosial, dibanding harus memfokuskan fikirannya pada issue terrorisme.
Namun untuk kali ini, issue tentang ISIS nampaknya mulai “digemari” oleh masyarakat banyak. Banyak yang kini membicarakan tentang ISIS dan juga konsep negara islam. tak sedikit yang juga memcoba mencari tahu apa itu ISIS dan apa itu Khilafah.
“dakwah” miring tentang ISIS yang dilakukan oleh media, sebenarnya ingin menyamakan persepsi kekerasan dengan islam. Seakan-akan, bila negara islam itu tegak ditengah-tengah masyarakat kita, mereka akan diberlakukan dengan kekerasan, dengan gaya diktator yang memaksa kehendak rakyat untuk menuruti keinginan penguasa. Media secara tidak langsung telah membuat gambaran “semu” tentang negara islam, dengan menampilkan video kekerasan yang dilakukan oleh ISIS, guna menjelaskan kepada masyarakat bahwa “inilah potret negara islam”, kejam, sadis, tidak berprikemanusiaan, dll.
Propaganda-propaganda terus dilakukan, guna meraih satu simpul suara dari masyarakat untuk menolak konsep bernegara dalam islam. Inilah tujuan media yang sebenarnya dalam menyikapi fenomena ISIS. Dan semua itu, jelas berbau dengan kepentingan politik. Siapa lagi kalau bukan demi kepentingan para kapitalis yang setiap hari mengeruk harta kekayaan negeri ini. Apa hubungannya ? Jelas sangat berberhubungan. Karena bila negara islam atau khilafah islam tegak dinegeri ini, yang pertama kali dirugikan adalah para kapitalis yang saat ini mencengkeram erat persendian ekonomi negara kita. Bila negara islam tegak, keberadaan mereka akan terancam, dan secara otomatis, kekayaan alam yang mereka kuasai akan dikelola sepenuhnya oleh negara demi kemakmuran rakyatnya. Hal tersebut yang sangat ditakuti oleh negara-negara penjajah imperialis, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dll. Makanya, dibuatlah issue tentang kekejaman ISIS, yang sebenarnya mereka gunakan sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat guna menolak sistem pemerintahan islam.
Tapi, bila kita berkaca pada tahun 2001, tepatnya pada saat peristiwa terjadinya serangan udara yang menghantam gedung kembar WTC (World Trade Center) di Amerika, sebenarnya media telah kalah dalam menghadapi pertumbuhan ideologi islam. Pasca serangan yang diklaim dilakukan oleh Al-Qaeda tersebut, Amerika langsung melancarkan serangan ke Afghanistan, dengan alih memerangi terrorisme. Dunia pun turut mengecam peristiwa tersebut, media banyak yang membuat berita negatif tentang islam. Namun disisi lain, justru Amerika yang mengalami kerugian besar, selain mengalami kerugian secara material, mereka pun harus menerima kenyataan, bahwa semenjak peristiwa tersebut, populasi muslim di Amerika Serikat dari tahun ke tahunnya semakin bertambah. Setidaknya ada sekitar 20.000 orang Amerika berganti akidahnya menjadi seorang muslim disetiap tahunnya pasca terjadinya peristiwa 11 September 2001 tersebut. Belum lagi di dunia, jumlah pemeluk islam kini makin bertambah banyak setiap harinya.
Kini, belajar dari kejadian yang pernah kita saksikan bersama, bahwa secanggih apapun makar mereka terhadap islam, tak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalangi kekuasaan Allah SWT.
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali imran : 54)
Bisa jadi, issue negatif yang dibuat oleh media pro penjajah kafir tentang islam dan ajarannya, kelak akan membalikkan keadaan. Akan ada banyak orang berduyun-duyun menginginkan tegaknya islam, hingga tak ada kekuatan yang mampu membendung kerinduan umat akan tegaknya ideologi islam, yang akan menaungi dunia dengan keadilan, kedamainan, serta kesejahteraan.
Wallahu’alam bishawab.
Abu syamil