Kebobrokan Lembaga Hukum Hingga Pencatutan RI Satu

Rekaman KPK yang menjadi alat bukti adanya upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK beberapa jam lalu selesai diperdengarkan Mahkamah Konstitusi secara terbuka. Rekaman sejatinya berdurasi empat setengah jam terdiri dari 9 bagian. Walaupun setelah skorsing istirahat, atas usulan KPK, rekaman tidak diputar semua. Hanya dipilih yang berkait dengan kasus kriminalisasi KPK.

Sebelum diperdengarkan, pimpinan sementara KPK menjelaskan bahwa rekaman KPK hanya dilakukan terhadap adik tersangka bos Masaro Anggoro Wijoyo, yakni Anggodo. Dari telepon Anggodolah akhirnya cerita rekayasa terhadap KPK bergulir. Rekaman dilakukan sekitar bulan Juli 2009 atau sekitar ditangkapnya ketua KPK, Antasari Azhar karena kasus dugaan pembunuhan. Dan pada bulan itu pula, sejumlah LSM berdemo di depan KPK untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap KPK.

Sejumlah pejabat tinggi Polri, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), dan Kejaksaan disebut dalam rekaman ini. Bahkan, nama Sby pun ikut tersebut. Semua berujung pada satu skenario, menjadikan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah sebagai tersangka. Bahkan, skenario mengganti-ganti delik sangkaan pun disusun berdasarkan usulan Anggodo.

Awalnya, sangkaan terhadap Bibit dan Chandra adalah penyuapan. Tapi, Ari Muladi, orang yang sebelumnya disebut mengaku menyerahkan langsung uang milyaran ke Chandra mencabut pengakuan. Berikutnya, masih dari usulan Anggodo, delik sangkaan diubah menjadi pemerasan. Dan ini pun akhirnya berubah lagi menjadi soal pencekalan terhadap Anggoro.

Dari rekaman itu pula, Anggodo dan beberapa pejabat hukum mengakui bahwa KPK memang mempunyai kewenangan dalam pencekalan. Sehingga isu dikembangkan kepada kesewenangan KPK dalam melakukan penggeledahan.

Rekaman itu pula memperlihatkan bahwa Anggodo sebenarnya ingin membebaskan kakaknya dari kasus PT Masaro dengan melakukan kolaborasi dengan LPSK. Dan rencananya itu berjalan mulus. Tapi, perjalanan itu terganjal oleh KPK yang menurut rekamanan itu sulit diajak kompromi. Mereka, para sindikat hukum mengaku bukan takut dengan KPK. Tapi dengan opini publik yang memang mendukung KPK.

Dari situlah, upaya membusukkan Bibit dan Chandra bergulir. Bahkan, ada ungkapan ancaman yang cukup menarik untuk disimak, Chandra harus dipateni (dibunuh, red). Ungkapan inilah yang dimohonkan pengacara Bibit dan Chandra, Bambang Wijonarko kepada MK untuk sesegera mungkin memberikan perlindungan khusus kepada Bibit dan Chandra.

Soal kevalidan barang bukti rekaman ini sudah diakui Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar. Beliau menyatakan sesaat setelah dimulainya waktu istirahat bahwa bukti rekaman ini memang valid. ”Tapi, ini baru bukti permulaan,” ucapnya kepada para wartawan.

Kalau rekaman ini memang valid, walaupun harus diuji lagi dalam sidang MK berikutnya, publik benar-benar disuguhkan sebuah fakta yang begitu fantastis. Fakta bahwa apa yang menjadi rumor dan rahasia umum selama ini tentang penegak-penegak hukum Indonesia, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengacara yang sudah sangat tercemar, kalau tidak mau dibilang bobrok, terbukti sudah.

Pertanyaan berikutnya, benarkah RI1 atau SBY memang terlibat dalam kriminalisasi KPK seperti yang tersirat dalam rekaman? Dino Pati Jalal, juru bicara Presiden menyatakan beberapa jam sebelum sidang MK selesai. ”Pemerintah akan menuntut pihak-pihak yang mencatut nama Presiden!” ucap Dino yang dirilis oleh beberapa media.

Disebutnya nama SBY memang mengingatkan publik dengan kritikan SBY tentang KPK pada tanggal 24 Juni 2009 lalu. Kritikan itu diucapkan ketika SBY berkunjung ke kantor Kompas di Jakarta. Hal itu terkait dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi seperti superbody. ”Kekuasaan yang terlalu besar, apalagi tanpa kontrol memadai, sangatlah berbahaya. Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati,” kata Presiden saat berkunjung ke harian Kompas, Jakarta, Rabu. (detikcom)

Tapi, sekali lagi publik memang harus adil dalam menilai kasus KPK ini. Seperti yang diucapkan Menhukham, Patrialis Akbar, bahwa pengadilanlah yang nanti akan membuktikan siapa yang salah dan benar.

Persoalannya kemudian, apakah publik bisa diajak percaya dengan proses pengadilan setelah menyimak rekaman yang mengobok-obok institusi hukum, bahkan kepresidenan ini? Waktulah nanti yang akan menjawab. Mnh.