Kawan Lama

Belum lama ini, di tengah-tengah sepak-terjang Covid-19 yang nggegirisi (sangat menakutkan) itu, kami berkomunikasi lewat video calling. Ia membongkar kembali pengalaman masa kecil kami, ketika masih hidup dan tinggal di desa. Yang ia ceritakan tentang betapa kuatnya rasa persaudaraan penduduk desa, pada masa lalu. Mereka guyup, rukun, saling tolong menolong, dan memegang prinsip hidup gotong-royong, toleran, saling hormat-menghormati walau berbeda keyakinan dan agama, beda kelas sosial. Dulu di desa ada istilah sambatan, tolong-menolong.

“Tahu enggak, mengapa bisa seperti itu di masa lalu?” katanya.

”Mengapa?” tanya saya pendek.

“Di masa lalu, hal itu bisa terjadi, barangkali karena  masih kuatnya rasa di antara penduduk desa bahwa orang tidak bisa hidup sendiri. Mereka menyadari bahwa dalam hidup, seseorang membutuhkan bantuan orang lain,” jelasnya.

Sebelum saya berkomentar, ia sudah mengatakan, “Salah satu karya penyair John Donne adalah ‘No Man is an Island’. Dua baris pertama puisi itu berbunyi, ‘No man is an island/ entire of itself/ every man/ ia a piece of the continent/ a part of the main.’ “

Lalu ia menambahkan, “Jauh sebelumnya, sejarawan Romawi, Gaius Sallustius Crispus (86 SM-34 SM), sudah mengatakan, alterum alterius auxilio est, seseorang membutuhkan bantuan orang lain.” Ia lalu mengatakan bahwa John Donne adalah seorang penyair asal Ingris yang hidup antara tahun 1572-1631.

“Memang, orang tidak bisa hidup sendiri. Tak mempedulikan orang lain. Mengucilkan diri di suatu tempat, seperti pulau yang jauh dari utara dan selatan,” komentar saya singkat.

Dengan cepat ia menyambung, “Ya, karena setiap orang menyadari akan perlunya orang lain. Maka kalau ada tetangga yang kesulitan, kerepotan, dirundung duka, tertimpa kemalangan, dahulu orang di desa kita biasanya akan segera membantu. Bantuan akan diberikan secara tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Bukan memberikan bantuan dengan memegang prinsip do ut des, saya beri agar engkau memberi.”

Cara orang hidup bersama di tengah masyarakat sering kali menentukan mutu kehidupan. Dan, karenanya menentukan keadaan dalamnya setiap orang memahami dirinya dan mengambil berbagai keputusan tentang dirinya serta panggilannya.

“Bukankah di masa kecil dulu, kita tidak pernah mendengar ada masalah dalam hal kerukunan hidup bermasyarakat, dalam hubungan antar-penduduk desa yang berbeda agama, misalnya. Semuanya rukun, saling menghormati. Atau kita masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu? Barangkali demikian,” katanya lagi menyinggung soal agama, karena ia memang ahli dalam bidang agama.

Ia masih melanjutkan, “Dalam refleksi saya saat ini, waktu itu agama benar-benar memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang rukun, yang saling membantu, yang solider dengan mereka yang miskin, yang lemah, yang menderita, yang tidak berdaya, yang sedang didera derita.

“Agama juga menjadi pendorong umatnya untuk membangun masyarakat yang aman dan damai, saling menghormati, saling peduli, bersama-sama melawan ketidakadilan, melawan penindasan, melawan kebodohan, dan pendek kata agama mendorong terciptanya kesejahteraan bersama.”

“Semua itu terjadi,” ia masih melanjutkan khotbahnya, “mungkin karena pada waktu itu penduduk desa, mungkin juga di kota-kota, menyadari dan menjalankan prinsip-prinsip hidup beragama secara benar, tidak hanya diomongkan, tidak hanya diteriakkan, tetapi benar-benar dijalankan dalam praktik hidup sehari-hari.