Eramuslim.com – KAMI berkawan sejak masih sama-sama sekolah di taman kanak-kanak. Itu artinya, perkawanan kami sudah lebih dari setengah abad. Kami tinggal di desa. Karena itu, taman kanak-kanaknya pun model desa zaman dulu. Tidak sehebat sekarang ini, baik gedung maupun peralatan sekolahnya, tentu. Dinding gedung sekolah dari bambu, gedek. Murid-murid tidak berseragam, pun pula tidak bersepatu. Kami masih ingat ibu guru kami: Ibu Bariyah.
Kenangan lebih dari setengah abad itu, hingga kini masih melekat dalam batin dan hati kami berdua. Sehabis sekolah kami selalu makan bersama, di rumahnya yang hanya terletak sekitar sepuluh meter dari pagar sekolahan. Kalau mengenang masa lalu, kami selalu tertawa, senang. Meskipun, menurut Jalaluddin Rumi (1207-1273) salah seorang sufi yang begitu kondang, “Hari kemarin telah berlalu, dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh,” Tetapi, toh tetap menyenangkan merawat benih-benih baru sambil mengingat hari kemarin.
Sebenarnya kami sudah berpisah sebelum menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Kelurganya pindah, karena ayahnya sebagai seorang polisi pindah tempat tugas. Sejak berpisah, kami tidak pernah berkomunikasi karena memang tidak ada alat untuk komunikasi seperti zaman kiwari yang serba moderen. Apalagi, bertemu. Kami bertemu lagi sekitar sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1975. Kami tinggal satu asrama.
Sejak itu, perkawanan kami kembali bersemi dan tumbuh. Bahkan menjadi semakin dekat, seperti saudara. Di kemudian hari, kami berpisah lagi dan bersua kembali ketika ia sudah menjadi seorang tokoh dan dikenal sangat pandai. Meski demikian, kami tetap bersahabat seperti dahulu. Akrab. Bersaudara. Menurut kata-kata bijak, “Alter ego est amicus, cuncta mecum habet communia, sahabat adalah diriku yang lain, dengannya semua menjadi milik bersama,” Begitulah kami.