Wartawan menghubungi Thomas Djamaluddin perihal itu. Thomas mengakui, komentar-komentar itu ada di akun Facebook (FB) miliknya. Tapi yang berdebat Andi dan Fauzan.
Kemudian, Andi Pangerang Hasanuddin minta maaf pada Selasa (25/4), begini:
“Melalui surat ini memohon maaf kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah atas komentar saya di Facebook terhadap seluruh warga Muhammadiyah di Akun Facebook tertanggal Minggu, 23 April 2023,”
Dilanjut: “Komentar tersebut dikarenakan rasa emosi dan ketidakbijaksanaan saya saat melihat akun Thomas Djamaluddin diserang oleh sejumlah pihak. Saya MEMINTA MAAF SEBESAR-BESARNYA KEPADA PIMPINAN DAN SELURUH WARGA MUHAMMADIYAH yang merasa tersinggung dengan komentar saya tersebut.”
Akhirnya: “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini lagi di waktu-waktu mendatang. Demikian surat pernyataan ini dibuat, atas perhatian masyarakat semua, saya ucapkan terima kasih.”
Lalu, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyayangkan debat itu. Dalam keterangan pers, dikatakan Laksana begini:
“Saat ini BRIN sedang melakukan pengecekan kebenaran atas informasi.”
Dilanjut: “Apabila penulis komentar tersebut dipastikan ASN BRIN, sesuai regulasi yang berlaku BRIN akan memproses melalui Majelis Etik ASN, dan setelahnya dapat dilanjutkan ke Majelis Hukuman Disiplin PNS sesuai PP 94/2021.”
Keburu, pihak Muhammadiyah mempolisikan Andi.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni kepada pers, Selasa (25/4/2023) menyatakan, sebaiknya soal itu dilakukan restorative justice (damai).
Sahroni: “Update terakhir, yang bersangkutan sudah minta maaf, dan institusi BRIN pun sudah secara resmi meminta maaf kepada Muhammadiyah. BRIN pun akan melaksanakan sidang etik ASN.”
Terpisah, Anggota Komisi III DPR, Fraksi Gerindra, Habiburokhman berpendapat sama, sebaiknya restorative justice.
Habiburokhman: “Ya, di suasana Syawal Idulfitri ini alangkah baiknya kita membuka pintu maaf. Nggak semua masalah itu harus kita selesaikan secara hukum. Kalau bisa kita selesaikan secara kekeluargaan akan lebih baik.”
Bagaimana tanggapan polisi? Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Adi Vivid Agustiadi Bachtiar, dalam keterangannya, Selasa (25/4) mengatakan singkat:
“Saat ini sedang kita profiling tentang pernyataan tersebut.”
Konflik di medsos ini mirip perundungan (bullying). Cuma, perundungan umumnya dilakukan anak-anak dan remaja, ini dilakukan orang dewasa. Perundungan paling parah, adalah penganiayaan Mario terhadap David Ozora yang kini masih proses hukum.
Ribuan, mungkin puluhan ribu bullying terjadi selama ada medsos. Mayoritas dilakukan anak dan remaja. Seperti tak habis-habisnya. Sebagian diselesaikan di jalur hukum, sebagian damai.
Mengapa begitu banyak bullying via medsos?
Dikutip dari MiddleWeb, 30 Januari 2023, bertajuk: “Facing Up to Cultural and Religious Bullying” karya Laleh Ghotbi, guru SMA di Salt Lake City, Amerika Serikat, bullying via medsos di AS juga mayoritas dilakukan anak dan remaja. Tapi ada juga pelaku dan korban orang dewasa.
Laleh Ghotbi asal Iran, mendefinisikan bullying sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Bisa sekali, bisa berulang kali. Mengakibatkan kerugian fisik, sosial, dan/atau psikologis pada korban. Itu definisi yang dikutip dari National Centre Against Bullying (NCAB).
Di kasus Andi versus Muhammadiyah, merugikan secara sosial. Karena, belum terjadi pembunuhan.
Bullying bisa berbahaya. Ghotbi: “Holocaust tidak dimulai dengan kamar gas. Itu dimulai dengan ujaran kebencian terhadap minoritas.” Maka, dia menuntut pengelola media sosial ikut bertanggung jawab atas ujaran kebencian via medsos.
Tapi, mana mungkin Facebook atau medsos lain mau bertanggung jawab. Ini sudah berlangsung puluhan tahun. Solusinya, Ghotbi mengatakan:
“Anak-anak kita, dari semua latar belakang, mewakili semua jenis kelamin, warna kulit, kepercayaan agama, dan tradisi budaya, terlepas dari kondisi kesehatan fisik dan mental mereka, adalah masa depan negara kita (AS). Kekuatan dan kemakmuran bangsa kita bergantung pada kesejahteraan dan kesuksesan anak-anak kita serta kemampuan mereka untuk bekerjasama dan berkolaborasi.”
Akhirnya: “Mari kita menanam benih kebaikan, toleransi, dan penerimaan sehingga kita dapat menyaksikan anak-anak kita tumbuh menjadi orang dewasa yang penuh perhatian dan penyayang yang peduli pada orang lain dan fokus pada kesamaan kita daripada perbedaan kita. Bangsa yang terpecah belah tidak dapat bertahan lama.”
Jika kita mau belajar dari guru Amerika berbangsa Iran itu, dia menyebutkan kata yang relevan di Indonesia: Toleransi. Ini yang sekarang kita lemah. Ogah toleran, menghalalkan darah saudaranya.
Orang bertoleransi akan dibalas saudaranya dengan toleransi juga. Begitu pun sebaliknya. Alhasil, mengutip Ghotbi: Bangsa bakal pecah.
OLEH: DJONO W OESMAN
(Penulis adalah Wartawan Senior)
(RMOL)