Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur, mulanya divonis 6 tahun penjara di Pengadilan Negeri Surakarta, karena dianggap mengedarkan kabar bohong dan menerbitkan keonaran dikalangan rakyat soal ijazah Palsu Jokowi, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun, putusan Pengadilan Negeri Surakarta ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.
Majelis Hakim tingkat Banding Pengadilan Tinggi Semarang, menyatakan Gus Nur tidak terbukti mengedarkan kabar bohong. Karenanya, putusan Pengadilan Negeri Surakarta dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.
Selanjutnya, Pengadilan Tinggi Semarang mengadili sendiri dan menyatakan Bambang Tri dan Gus Nur telah mengedarkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Vonis diturunkan, dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Jaksa dan terdakwa mengajukan Kasasi. Dalam majelis tingkat Kasasi Mahkamah Agung, Judex Juris Mahkamah Agung menolak banding yang diajukan oleh Jaksa dan Terdakwa Gus Nur. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang dikuatkan dan putusan ini telah berkekuatan hukum tetap.
Ada beberapa substansi penting, yang membuktikan ijazah Jokowi memang palsu adanya. Beberapa substansi itu diantaranya:
Pertama, sepanjang persidangan JPU yang dibebani pembuktian dalam kasus kabar bohong ijazah palsu Jokowi, tidak pernah mampu menunjukan bukti asli ijazah Jokowi. Baik ijazah SD, SMP, SMA, hingga yang utama ijazah S-1 UGM milik Jokowi.
Jaksa hanya berbekal ijazah copy yang dilegalisir. Padahal, untuk membuktikan kabar ijazah palsu adalah bohong, yang paling praktis adalah mendatangkan atau menghadirkan ijazah aslinya.
Karena ijazah asli Jokowi tak mampu dihadirkan, maka dapat disimpulkan ijazah asli itu tidak ada. Artinya, patut diduga bahkan hingga kadar dapat diyakini bahwa ijazah Jokowi palsu. Sebab, jika ijazah Jokowi asli tentu ada wujud aslinya dan dihadirkan di pengadilan.
Kedua, Pengadilan Tinggi Semarang menganulir pasal kabar bohong yang digunakan untuk memvonis Bambang Tri dan Gus Nur. Meski keduanya tetap dipenjara, namun vonisnya berdasarkan Pasal menyebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Itu artinya, ijazah Jokowi palsu bukanlah kabar bohong karena tidak ada bukti ijazah aslinya. Hakim PT Semarang hanya menganggap Bambang Tri dan Gus Nur mengedarkan kebencian kepada Jokowi terkait ijazah palsu Jokowi.
Ketiga, meskipun kasus ini menyita perhatian publik tapi Jokowi tidak pernah menunjukan ijazah aslinya. Jokowi, hanya mengadakan pertemuan reuni dengan orang-orang yang diklaim sebagai kawan kuliahnya.
Padahal, jika Jokowi punya ijazah asli gampang saja Jokowi tunjukan. Jokowi, juga tentu lebih berkepentingan untuk membersihkan nama baiknya dari informasi yang diedarkan Bambang Tri Mulyono dalam buku Jokowi undercover terkait ijazah palsu Jokowi.
Jadi, berdasarkan ketiga alasan tersebut diatas semestinya DPR bisa segera mengaktivasi pasal pemakzulan kepada Jokowi. Meskipun kasus ini bisa saja dikunci oleh MK yang diketuai Anwar Usman (Ipar Jokowi), namun tekanan DPR dan rakyat akan mampu memaksa MK menyidangkan kasus ijazah palsu Jokowi dan memakzulkannya.
Putusan pemakzulan Jokowi juga dibutuhkan oleh MK untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada MK. Sebab, gara-gara kasus putusan batas usia Capres cawapres yang meloloskan Gibran maju Pilpres, MK tercoreng reputasinya dan jatuh wibawanya.
Adapun gugatan ijazah palsu yang kembali bergulir di PN Jakarta Pusat, kuat dugaan akan diselesaikan dengan putusan NO. Jokowi akan mampu menekan pengadilan untuk menyetop perkara agar tidak sampai pada proses pembuktian sehingga diputus dengan putusan tidak dapat diterima (NO).
Semua berpulang kepada DPR, apakah akan melakukan langkah praktis dan strategis untuk mengakhiri dinasti politik Jokowi melalui aktivasi pasal pemakzulan ini. Apalagi, setelan PDIP berseberangan dengan Jokowi, penulis kira langkah pemakzulan Jokowi ini akan lebih realistis untuk dijalankan ketimbang dibiarkan begitu saja, apalagi dikesampingkan.
Sebab, momentum untuk menghentikan rezim dinasti politik Jokowi tidak akan datang dua kali. Sementara PDIP berpeluang dikerdilkan ketika Gibran menang, bukanlah sebuah kemungkinan melainkan merupakan konsekuensi dan sebuah kepastian. [].