Eramuslim.com – Ada pula yang menganggap bahwa ganja hanyalah tumbuhan dan karena efek merusaknya pun lebih rendah, seharusnya tidak digolongkan bersama dengan psikotropika tingkat I lainnya, seperti heroin, dan lainnya. Bahkan di beberapa negara lain, ganja sudah dilegalkan karena manfaatnya bagi kesehatan yang tak dipunyai oleh tumbuhan lain, walaupun dengan aturan yang ketat.
Meskipun begitu, ada juga warga Australia yang mendukung agar Corby dihukum. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar menjadi peringatan bagi warga sana yang berniat menyelundupkan obat-obatan terlarang ke luar negeri.
Perspektif Warga Indonesia: mengecam keras tindakan teror terhadap KBRI di Australia
Awalnya, kebanyakan rakyat Indonesia dingin-dingin saja dalam menanggapi kasus ini. Kalaupun ada protes, kebanyakan terjadi di media-media massa dalam bentuk (artikel) protes, di mana para tokoh mengecam keras tindakan teror terhadap KBRI di Australia, selain juga mengecam pandangan ekstrem minoritas warga Australia tersebut (atau warga Australia sendiri). Selain itu, ada juga beberapa tokoh yang menyarankan Pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Australia.
Selain kecaman di media, ada juga yang melakukan aksi unjuk rasa secara damai, misalnya menuntut dihukum matinya Corby, menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia, dsb. Selain hal-hal di atas, tidak ada aksi anarkis dan teror terhadap aset Australia di Indonesia.
Selain itu, beberapa pakar hukum Indonesia seperti Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, dalam opininya di Kompas mempertanyakan pendekatan hukum atas kasus ini. Menurutnya, pembuktiannya tidaklah sekadar memiliki atau menguasai ganja/marijuana tersebut, tetapi bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu bisa berada dalam penguasaan Corby sebagai alas bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan hukum.
Artinya, kalau tidak ada bukti tentang bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu berada dalam penguasaan Corby, tidaklah ada kesalahan dan melawan hukum pada diri Corby. Inilah pendekatan ajaran dualistis yang menghendaki adanya kebenaran materil dengan mempertanyakan bisa tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana.
Hal lainnya adalah, kasus ini sudah bergulir sedemikian rupa, namun kenapa media-media lokal ‘titipan politikus dan titipan asing’ tetap membahasnya? Seharusnya yang dibahas adalah mengenai cacatnya hukum di Indonesia, bukan lagi membahas tentang sebuah keputusan yang justru memang berada di rel hukum itu sendiri.
Remisi untuk Corby
Secara keseluruhan, Corby mendapatkan remisi selama 27,5 bulan untuk masa kurungan awal selama 20 tahun.
• Agustus 2006: Dua bulan pada Hari Kemerdekaan Indonesia.
• Desember 2006: Satu bulan pada hari Natal.
• 2007: Corby tidak mendapatkan remisi Hari Kemerdekaan dan Natal setelah ketahuan memiliki telepon genggam. Peraturan kunjungan tiperketat setelah muncul sebuah operator wisata abal-abal beriklan bahwa wisatawan bisa mengambil foto bersama Corby dengan membayar sejumlah uang.
• Agustus 2008: Tiga bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2009: Empat bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2010: Lima bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Desember 2010: 45 hari.
• Agustus 2011: Lima bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2012: Enam bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Februari 2014: Bebas bersyarat.
Corby mendapatkan pembebasan bersyarat pada 7 Februari 2014 dan dibebaskan tanggal 10 Februari 2014 setelah menjalani masa hukuman sembilan tahun di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan.
Putusan ini mewajibkan Corby tinggal di Bali dan mengikuti peraturan lain yang ditetapkan pihak lembaga pemasyarakatan serta wajib lapor kepada pihak berwenang setiap bulannya sampai benar-benar dibebaskan bulan Juli 2017.
Kasus “The Bali Nine”
Kini kita masuk ke kasus Bali Nine. Masih ingatkah anda tentang ‘the Bali Nine’?
Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia, yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali.
Mereka, kesembilan anggotanya ditangkap dalam usahanya untuk menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram! Dari Indonesia ke Australia.
Kesembilan orang dalam sindikat perdagangan heroin yang dikenal dengan julukan “the Bali Nine” tersebut adalah:
1. Andrew Chan – disebut pihak kepolisian sebagai “godfather” kelompok ini
2. Myuran Sukumaran
3. Si Yi Chen
4. Michael Czugaj
5. Renae Lawrence
6. Tach Duc Thanh Nguyen
7. Matthew Norman
8. Scott Rush
9. Martin Stephens
Perbedaan Antara kasus Corby dan The Bali Nine
Ada beberapa perbedaan kasus diantara keduanya, diantaranya adalah:
1. Kasus Corby:
– Menyelundupkan ganja atau marijuana seberat 4,2 kg dari Australia ke Indonesia.
– Dijatuhi hukuman penjara 20 tahun dan didenda Rp.100 juta, akhirnya bebas namun bersyarat.
2. Kasus Bali Nine:
– Menyelundupkan heroin seberat 8.3 kg dari Indonesia ke Australia.
– Dijatuhi hukuman mati dan dua diantaranya hukuman penjara seumur hidup.
Para Bandar Narkoba Sengaja Dijebak Pihak Kepolisian dan Intelijen Australia Sendiri!
Beberapa pihak dan “orang dalam” dari Australia yang tak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa para bandar narkoba yang tergabung dalam Bali Nine tersebut sengaja dijebak oleh pihak Australia karena di negara itu tak ada hukum yang kuat untuk membuat para pengedar narkoba itu merasa jera.
Bahkan pihak AFP telah mengetahui bahwa para kurir heroin itu sedang terbang menuju ke Bali. Hal itu juga masuk dalam tulisan di media Autralia:
On April 8, the same day Rush flew out of Australia, the AFP (Australian Federal Police) sent a letter to the Indonesian National Police, headed “Subject: Heroin couriers from Bali to Australia.” – (theaustralian.com.au, August 27, 2010).
Pada tanggal 8 April, dihari yang sama Rush terbang dari Australia, AFP (Kepolisian Federal Australia) mengirimkan surat kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, berjudul “Subjek: Kurir heroin dari Bali ke Australia” – (theaustralian.com.au, 27 Agustus 2010).
Selain itu, masih melalui suratnya, AFP juga meminta kepda Polri agar mengawasi gerak-gerik para penyelundup heroin itu dan mencegatnya.
The AFP (Australian Federal Police) letter requested the INP (Indonesian Noational Police) to attempt to keep the group under surveillance, identify the source of the drugs, and obtain as much evidence and intelligence as possible to help the AFP nail the organisers in Australia, other than Chan. The most crucial paragraph of the AFP letter advised the INP: “should they suspect that Chan and/or the couriers are in possession of drugs at the time of their departure, that they take what action they deem appropriate.” – (theaustralian.com.au, August 27, 2010).
Surat AFP (Kepolisian Federal Australia) meminta Polri mencoba untuk menjaga kelompok itu dibawah pengawasan, mengidentifikasi sumber narkotika, dan mendapatkan banyak barang bukti dan dapat memungkinkan intelijen (Indonesia -red) untuk membantu AFP menangkap gembongnya di Australia, selain Chan. Paragrap yang paling penting dari surat AFP menyarankan Polri: “mengharuskan tersangka mereka bahwa Chan dan / atau kurir berada dalam kepemilikan narkoba pada saat keberangkatannya, bahwa mereka (kepolisian Indonesia -red) mengambil tindakan apa yang mereka anggap tepat.” – (theaustralian.com.au, 27 Agustus 2010).
Empat hari kemudian, pada tanggal 12 April 2005, surat kedua dikirim oleh AFP kepada rekan-rekan mereka yaitu kepolisian Indonesia, komplit dengan memberikan tanggal, waktu dan rincian penerbangan dari kelompok yang akan kembali ke Australia. Chan dan empat kurir lainnya akan terbang kembali ke Australia pada tanggal 14 April, sementara Rush, Nguyen dan Czugaj akan terbang dua hari kemudian, pada hari Sabtu tanggal 16 April.
Surat ini dari petugas penghubung senior AFP di Bali, Paul Hunniford, menyarankan:
“If arrests are made [in Indonesia] on 14 April, it is likely that Nguyen, Czugaj and Rush will become suspicious of the arrest and decide not to attempt to board the Saturday flight with narcotics. I therefore request that you consider searching Nguyen, Czugaj and Rush soon after the first group are intercepted.” – How the AFP trapped the Bali Nine, August 27, 2010 (theaustralian.com.au).
“Jika penangkapan dibuat [di Indonesia] pada 14 April, ada kemungkinan bahwa Nguyen, Czugaj dan Rush akan menjadi curiga terhadap penangkapan itu dan memutuskan untuk tidak naik pada penerbangan dihari Sabtu dengan membawa narkotika. Karena itu saya meminta Anda mempertimbangkan mencari Nguyen, Czugaj dan Rush setelah kelompok pertama dicegat.” – – How the AFP trapped the Bali Nine, August 27, 2010.
Surat AFP tersebut disegel, dan mengubah nasib para penyelundup heroin oleh para warga Australia itu, yang akhirnya dikenal hingga kini sebagai kelompok “The Bali Nine”.
Orang tua Rush dan Lawrence kemudian juga mengkritik pihak kepolisian Australia yang ternyata telah mengetahui rencana penyelundupan itu.
“The parents of Rush and Lawrence criticised the AFP (Australia Federal Police) for allowing the Indonesian police to arrest the nine rather than allowing them to fly to Australia and arresting them in Sydney upon their return.” (wikipedia).
Ayah terpidana Lawrence, Bob Lawrence, mengatakan pada bulan Oktober 2005 lalu menyatakan bahwa ia ingin bertemu muka dengan Keelty setelah belajar dari komentar yang dibuat oleh Lee Rush.
“As far as I’m concerned, and excuse the expression, [Keelty] is an arsehole. These kids were forced into this … they should have been either arrested at the airport here or followed to get the big guys. I don’t know how they can sleep at night … even if [the Bali Nine] were guilty of doing it willingly, it still doesn’t deserve the death penalty.” — Bob Lawrence, father of Renae Lawrence, October 2005. (theage.com.au).
“Sejauh yang saya ketahui, dan alasan ekspresi, [Keelty] adalah bandit sialan. Anak-anak ini dipaksa melakukannya … mereka seharusnya lebih baik ditahan di bandara sini atau diikuti, untuk mendapatkan ‘orang-orang besar’ (gembongnya -pen). Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa tidur di malam hari … bahkan jika [Bali Nine] bersalah dan rela melakukannya, masih tidak layak hukuman mati. ” –Bob Lawrence, ayah dari Renae Lawrence, Oktober 2005.
Pada tanggal 13 Februari 2006, giliran orang tua Scott Rush memberikan wawancara kepada TV ABC Australia pada program acara Australian Story, ia berbicara menentang tindakan AFP (Australian Federal Police). Ibu Scot Rush mengatakan:
“I feel very let down by our Australian Federal Police – we tried to lawfully stop our son leaving the country, it wasn’t done….. “The Federal Police can do, go wherever they want, do anything, anytime without supervision from the Australian Attorney-General or from the Justice Minister.”…..”This is not good for Australians and our laws need to be changed to protect our citizens and this must not happen to any Australian citizen again.” — Christine Rush, mother of Scott Rush, February 2006. (theguardian.com)
“Saya merasa sangat dikecewakan oleh Polisi Federal Australia kita – kami telah mencoba untuk menghentikan anak kami untuk meninggalkan negara itu, namun hal itu tidak dilakukan ….. “Polisi Federal bisa melakukannya, pergi ke mana pun mereka mau, melakukan apa pun, kapan saja tanpa pengawasan dari Jaksa Agung Australia atau dari Menteri Kehakiman. “…..” Ini tidak baik untuk Australia dan hukum kita perlu diubah untuk melindungi warga negara kita dan ini tidak harus terjadi pada setiap warga negara Australia lagi.” — Christine Rush, ibu Scott Rush, Februari 2006.
Dari pernyataan mereka maka bisa disimpulkan bahwa pihak kepolisian Australia sudah mengetahuinya, dan lebih memilih untuk mengabari Polri dan menangkap serta menghukum mereka di Indonesia daripada menangkap mereka di Australia, di mana tidak ada hukuman mati disana sehingga kesembilan orang tersebut dapat selalu menghindari hukuman mati tersebut.
Mereka adalah pengedar kambuhan dan profesional. Sebenarnya bandar-bandar narkoba kelas international trafficking itu telah lama diketahui oleh pihak berwajib yang terkait di Australia. Mereka adalah bandar-bandar narkoba pesakitan dan tak akan pernah mau berubah, alias sudah masuk dalam daftar hitam (blacklist) di negara itu.(Bersambung/rz/indocropcircles.wordpress.com)