Kasihan Komnas HAM

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 

MASA jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang dipimpin  Ahmad Taufan Damanik akan berakhir. Pendaftaran calon anggota Komnas HAM baru telah mulai dibuka. Soal periodisasi hal yang biasa, tetapi catatan kerja selama menjabat dapat berwarna-warni. Warna merah Komnas HAM adalah penyelidikan kasus pembunuhan 6 Laskar FPI. Bukan saja tidak tuntas tetapi juga sia-sia, bahkan berbelok arah.

Ujung kerja hanya rekomendasi kepada pihak Kepolisian. Semestinya dapat lebih dari itu dengan menempatkan diri sebagai penyidik. UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberi tempat Komnas HAM jauh lebih penting dan strategis. Hal inilah yang justru tidak dimanfaatkan. Dengan hanya mendasarkan pada UU no 39 tahun 1999 tentang HAM maka Komnas HAM hanya menjadi tukang pantau dan pemberi rekomendasi yang dalam prakteknya tanpa itupun pihak Kepolisian dapat bergerak sendiri.

Di sisi lain dua butir rekomendasi Komnas HAM ternyata tidak dijalankan. Pertama, mendalami dan menegakkan hukum terhadap orang-orang yang ada dalam mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD yang diduga terlibat. Kedua mengusut soal senjata api yang dituduhkan digunakan 6 anggota Laskar FPI. Dua dari empat rekomendasi ini tidak tersentuh apalagi terkuak baik dalam proses penyidikan maupun peradilan.

Komnas HAM tidak mengungkap, melainkan hanya melempar kepada pihak Kepolisian, tentang penumpang mobil Land Cruiser hitam yang diduga “mengomandani” operasi. Komnas HAM tidak pula menyentuh kemungkinan terjadinya penyiksaan atas korban. Padahal di Pengadilan dua orang anggota Kepolisian Metro Jaya ternyata didakwa pula dengan Pasal 351 ayat (3) yaitu delik penganiayaan yang menyebabkan kematian.