Untuk Pak Rektor, Anda sangat beruntung karena Zaadit tidak menunjukkan kartu merah. Sangat berlebihan kalau Anda marah kepadanya. Dia adalah sosok mahasiswa milenial yang baik budi. Anda pantas mengklaim bahwa anak-anak UI sangat pro-Jokowi.
Kalau ditanya wartawan, Anda bisa mengatakan sambil tersenyum lebar bahwa Anda bangga pada mahasiswa UI yang telah menyambut Pak Jokowi dengan marna kuning. Pak Rektor bisa juga mengklaim bahwa, dengan memajangkan kartu kuning, anak-anak UI masih menginginkan Pak Jokowi menjadi presiden. Kalau Anda, Pak Rektor, bisa mengolah warna kuning ini, saya yakin Anda akan membuka akses ke kursi Mendiktiristek.
Menurut hemat saya, Rektor UI berhasil menjinakkan mahasiswa agar tidak keluar dari penilaian kuning untuk Pak Jokowi. Bisa disebut sebagai prestasi yang sangat membantu Presiden. Kepala Staf Presiden perlu belajar dari Rektor UI tentang kiat membina mahasiswa supaya menjadi para intelektual yang “mandiri” alias “memikirkan diri sendiri”.
Lantas, bagaimana dengan penilaian masyarakat terhadap tindakan Zaadit Taqwa sendiri? Di media sosial (medsos), pujian selangit diarahkan kepada ketua BEM. Dia dianggap berani di tengah suasana melempem di kalangan mahasiswa. Dia dianggap pahlawan di tengah kemandulan mahasiswa. Zaadit dianggap “Hariman Siregar” di tengah kebancian mahasiswa Indonesia belakangan ini.
Di medsos, masyarakat bertepuk tangan melihat keberanian Zaadit. Ini bisa dipahami. Sebab, sudah lama sekali rakyat merindukan sikap kritis mahasiswa terhadap kesewenangan penguasa dan terhadap kondisi negara yang sedang gonjang-ganjing. Jadi, begitu menyaksikan adegan tiup pluit dan angkat kartu kuning di depan Pak Jokowi, terasa seperti akan mendapatkan air segar di tengah gurun tandus yang terik.
Padahal, tindakan yang dilakukan oleh Zaadit justru “mendukung” Pak Jokowi. Bukan kritikan, apalagi kebangkitan. Sekadar perlawanan edisi fatamorgana.(kk/ts)