Kantong Gendut Pebisnis PCR

Kantong Gendut Pebisnis PCR

OLEH: SYAFRIL SJOFYAN

SELAMA pandemi, banyak pelaku bisnis banting setir membangun laboratorium tes PCR. Karena syaratnya gampang. Keuntungannya menggiurkan. Untuk meraup cuan berlipat-lipat itu, syarat yang dibutuhkan tidaklah sulit.

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/ 4642/2021. Hanya memenuhi dua persyaratan. Pertama, menjamin pengolahan limbah medis B3 sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang ditetapkan dalam tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pemeriksaan Covid-19.

Kemudian, memiliki sumber daya tenaga kesehatan yang memadai. Dengan dua persyaratan itu, dalam waktu satu bulan langsung mendapatkan izin operasional dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Cuan yang amat menggiurkan ICW, mengkalkulasi jumlah spesimen yang diperiksa oleh lab dikalikan dengan tarif pemeriksaan paling tinggi, yakni Rp 900 ribu, hasilnya kita melihat setidaknya ada perputaran uang dalam konteks pemeriksaan PCR itu sekitar Rp 23,2 triliun.

Dalam penelitiannnya ICW menaksir keuntungan dari bisnis tes PCR per Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.

Melalui investigasi kepada perushaan keuntungan besar dari bisnis laboratorium itu diakui. Malah lebih karena pernah membanderol harga tes PCR senilai Rp 1 juta hingga 1,25 juta.

Mahalnya harga itu bergantung pada berapa lama hasil tes keluar. Semakin cepat, maka semakin mahal.

Padahal, waktu itu, harga satu reagen yang digunakan untuk tes PCR hanya Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Pernah heboh karena test PCR di India hanya Rp 90 ribu.

Akhirnya sekarang diturunkan HET nya oleh Pemerintah ditetapkan Rp 495 ribu untuk di luar Jawa dan Bali ditetapkan Rp 525 ribu.

Dalam proses impor mesin dan reagen itu, distributor mendapat begitu banyak kemudahan dari pemerintah. Pemerintah telah menetapkan diskresi penghapusan pajak impor bagi alat-alat kesehatan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Saking mudahnya, kesempatan ini dimanfaatkan para spekulan untuk turut andil dalam bisnis alkes. Banyak pebisnis akhirnya banting setir karena melihat peluang di bisnis kesehatan. Sempat juga ada persaingan tidak sehat. Banyak juga barang gelap beredar tanpa izin edar dari Kemenkes.