Kalau Kerja Sudah Benar, Gak Usah Takut dengan Mural

Jadi sejatinya, Indonesia tidak antimural kalau memang jelas pesannya, jelas maknanya, bukan hanya sekadar coretan isen, itu vandalisme namanya.

Lalu mengapa saat ini mural menjadi ramai dibicarakan. Masalahnya adalah karena mural yang muncul bekalangan ini berisikan sindiran atau kritik terhadap pemerintahan, terutama kepada Presiden Joko Widodo.

Sudah bukan barang baru, beberapa kalangan mengendus ada kemunduran demokrasi di era Presiden Joko Widodo. Kemunduran itulah yang memicu mural jadi topik hangat saat ini. Mural-mural tersebut dianggap melecehkan atau menghina simbol negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Maka, aparat buru-buru menghapus mural tersebut, bahkan memburu para pembuat mural tersebut, entah apa maksudnya, mau ditangkap dan dipidanakan, atau ada maksud lain, tunggu saja nanti.

Kalau ditelaah lebih dalam, pada Pasal 36A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebut lambang negara hanya Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Penjelasan Umum UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan juga tidak mencantumkan presiden sebagai simbol negara. Hanya Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang disebut sebagai simbol yang menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain.

Jadi, sebetulnya, Presiden bukanlah lambang negara. Kalau masalahnya di pasal penghinaan terhadap presiden, pada 4 Desember 2006, berdasarkan Putusan MK 013-022/2006, pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga membuat pasal-pasal tersebut tidak berlaku lagi.

Meski demikian, memang ada aturan yang berlaku mengacu pada Telegram Kapolri atau ST Kapolri 1100/2020. Dalam surat telegram tersebut, pada poin 3 mengatur soal penghinaan terhadap penguasa atau presiden.

Pasal yang akan diterapkan oleh Polri terkait penghinaan terhadap penguasa/presiden atau pejabat pada masa penanganan COVID-19 ini adalah Pasal 207 KUHP yang berbunyi,

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,” begitu bunyi pasal tersebut.

Meski demikian, dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Putusan MK 013-022/2006, MK menguraikan bahwa Pasal 207 KUHP, dalam hal penghinaan, ditujukan kepada presiden dan/atau wakil presiden selaku pejabat dan menurut pertimbangan MK, penuntutan terhadapnya seharusnya dilakukan atas dasar pengaduan. Jadi kalau tidak ada aduan dari Jokowi ke polisi, seharusnya tidak bisa ditindak para pembuat mural yang berisikan kritik sosial atau kritik terhadap pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.