Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Reform)
Kematian Noordin M. Top masih menjadi misteri sekaligus kontroversi. Penggerebekan Detasemen Khusus 88 Antiteror di Jebres, Solo (17/9/2009) berlangsung tanpa liputan media massa. Tidak seperti biasanya yang penuh sorotan kamera wartawan. Tapi hasilnya, setelah dilansir polisi, ternyata justru memancing perdebatan. Polisi haqqul yaqin salah satu jenazah yang tertembak di lokasi adalah Noordin berdasarkan pemeriksaan sidik jari dan tes DNA. Namun, pengamat terorisme, Dynno Chressbon memperoleh informasi kunci dari kerabat Noordin, dan kontan meragukannya. Keraguan juga diperlihatkan mantan aktivis Darul Islam, Al-Chaidar dan Wakil Ketua Komisi III DPR, Soeripto.
Bila kita refleksi ke belakang, suasana mencekam sangat terasa bagi warga sekitar lokasi penyergapan, karena serangan berlangsung di pekan terakhir Ramadhan. Warga baru saja menunaikan shalat tarawih, tiba-tiba puluhan aparat mengepung rumah Agus Susilo di desa Kepuhsari, Mojosongo. Di dalamnya tak hanya ada empat lelaki tersangka teroris, melainkan juga ada seorang perempuan sedang hamil tua, Puteri Munawaroh, isteri Susilo sang tuan rumah. Sebagaimana peristiwa penyergapan di Temanggung, Jatiasih dan Wonosobo, kita sekali lagi menyaksikan kebrutalan aparat Polri.
Apa sesungguhnya misi yang dikejar aparat, sehingga harus menembak mati keempat tersangka: Bagus Budi Santoso (alias Urwah), Aryo Sudarso (alias Aji), Agus Susilo (alias Adib), dan sosok yang disangka Noordin? Apakah aparat sedang menerapkan prinsip penghukuman tanpa proses peradilan, ataukah sedang mengalami disorientasi karena isu terorisme yang bercabang kepentingan? Sebagian warga yang kritis mulai meragukan bahwa kelompok teroris itu benar-benar berbahaya, sebab mereka tidak melihat upaya optimal aparat untuk melumpuhkan, misalnya, dengan menggunakan gas air mata dan bom pembius.
Keanehan Operasi Densus
Keganjilan sudah terasa sejak detik pertama penyergapan. Menurut laporan petugas keamanan yang memeriksa kondisi korban, semua tersangka tewas karena luka tembak sekitar pukul 00.00 – 00.30 tengah malam (Republika, 17/9/2009). Setelah itu terjadi kebakaran akibat tertembaknya tabung tanki motor yang terkena peluru atau ledakan bom TNT yang dilemparkan aparat.
Anehnya, setelah kondisi senyap akibat kebakaran justru terdengar berondongan peluru sampai jam enam pagi diselingi jeda beberapa kali. Apa sebenarnya yang ditakutkan 15 aparat Densus yang mengepung rumah itu dan puluhan petugas yang mengamankan lokasi dari keingintahuan wartawan dan warga sekitar? Apa benar Noordin hendak meledakkan diri?
Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sendiri akhirnya menyatakan bahwa Noordin tertembak peluru aparat, sehingga terbukti dia tidak terlalu nekad seperti digembar-gemborkan pengamat. Senjata yang ditemukan pun hanya sepucuk pistol baretta, senapan M-16 lengkap dengan amunisinya dan granat tangan, serta bahan peledak sebanyak 200 kilogram. Tak ada rompi anti peluru yang biasa dikenakan Noordin, dan tidak semua tersangka di dalam rumah itu bersenjata yang mungkin mengancam keselamatan petugas.
Melihat fakta yang gamblang itu, Komnas HAM melontarkan kritik keras. "Penanganan terhadap kasus terorisme sudah banyak sekali dilakukan, seharusnya Polri tidak boleh arogan dengan skenarionya sendiri. Polri harus mempertimbangkan semua masukan. Yang disesalkan adalah perlakuan Polri yang terlalu vulgar," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, Ridha Saleh (Detikcom, 17/9/2009).
Pandangan serupa dinyatakan pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, yang mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). "Kalau mampu menangkap teroris hidup, poinnya lebih bagus," simpul Umar. Selama ini para teroris selalu tewas di tangan petugas, sehingga latar belakang aksi mereka tidak terungkap. Pertanyaan penting semisal apa benar mereka ingin mendirikan negara Islam dan sebagainya, belum terjawab.
Karena itu, Umar berharap aksi Densus 88 di Solo kali ini bukan merupakan pengalihan isu yang bersifat politis. Sebab, publik sedang dicekam isu petinggi Polri yang terlibat penggelapan dana Bank Century dan kemudian melakukan balas dendam dengan menangkap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kredibilitas Polri sebagai institusi sedang dipertanyakan, termasuk pula integritas kepemimpinan nasional yang seyogyanya mengarahkan aparat penegak hukum bekerja sesuai dengan prinsip imparsial dan akuntabilitas publik.
Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW (Indonesian Corruption Watch), Emerson Yuntho, kesal karena berita penggerebekan teroris mengalihkan perhatian masyarakat dari upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi. "Jangan sampai kita terlena dengan berita teroris, sehingga melupakan DPR yang sedang ngebut membahas dan akan mengesahkan RUU Tipikor," jelas Emerson. Baginya, koruptor adalah teroris sejati (the real terrorist), karena teroris cuma bisa merusak satu-dua bagian saja, tapi koruptor menimbulkan destruksi yang besar dan sistemik bagi bangsa ini.
Karunia atau Bencana
Penetapan waktu penyergapan Densus memiliki efek khusus sebagaimana pemilihan waktu operasi oleh kelompok teroris. Kapolri menyatakan di depan khalayak wartawan bahwa di bulan penuh berkah (Ramadhan), bangsa Indonesia diberi ‘karunia’ dengan tertangkapnya para teroris. Insiden itu karunia atau bencana? Karena, masyarakat menangkap pesan yang keliru bahwa aparat penegak hukum ternyata lebih memilih eksekusi langsung tanpa proses peradilan, dengan demikian terjadilah gejala impunitas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri bersyukur dan menyambut gembira keberhasilan Densus 88 melumpuhkan Noordin Top dan kelompoknya. Hal itu terlihat dalam dialog santai dengan wartawan di Istana Negara. Menurut SBY, Noordin dan Azahari, selama ini telah mengotaki serangkaian pengeboman di Tanah Air. Karena itu, tewasnya kedua tokoh itu diharapkan membuat situasi keamanan makin kondusif.
Tugas untuk memerangi teroris akan terus dilanjutkan, kata SBY, yang akan dilantik pertengahan Oktober nanti untuk periode kedua. Tak ada nada keprihatinan atas jatuhnya korban dalam pernyataan itu, apalagi koreksi atas tindakan Densus yang eksesif. Seakan itu menunjukkan bahwa pemerintah telah mengetahui segala rencana aksi kontra-terorisme yang dijalankan Densus di lapangan, dengan segenap resiko pelanggaran HAM dan rusaknya kredibilitas pemerintahan baru hasil pemilu 2009.
Hal itu berbeda dengan sikap pemerintah Malaysia, seperti terlihat dari pernyataan Mendagri Hishammuddin Hussein, yang menyesalkan kematian Noordin Top. Menurut Hishammuddin, seandainya Noordin masih hidup, maka ia bisa masuk program rehabilitasi untuk memperbaiki perilakunya. Hisham mengakui, perbuatan yang dilakukan Noordin memang salah, sehingga hukuman berat harus dijatuhkan. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi proses rehabilitasi sebagaimana dijalankan terhadap kelompok militan lain (The Star, 18 September 2009).
UU Antiterorisme yang diterapkan di Indonesia tak seketat ISA Malaysia atau USA Patriot Act, namun perilaku aparat Densus ternyata sama kerasnya. Densus yang bergaya ‘militeristik’ telah mengaburkan kebijakan kontra-terorisme yang komprehensif. Aksi ofensif sebenarnya hanya salah satu aspek, dan bukan faktor utama, dalam kebijakan kontra-terorisme.
Paul R. Pillar (dalam Howard dan Sawyer, 2004) menyebut kebijakan kontra-terorisme yang efektif sekurang-kurangnya menyangkut empat faktor: kondisi sosial yang memotivasi lahirnya aksi kekerasan, kemampuan individu/kelompok untuk melakukan kekerasan, perhatian teroris terhadap target yang diincarnya, dan sistem pertahanan untuk mencegah aksi teror berkelanjutan.
Aksi ofensif seperti penyergapan dan penembakan Densus 88 mungkin menekan kapabilitas dan intensi kelompok teroris, tapi tak berkaitan dengan perbaikan kondisi sosial dan pemantapan sistem pertahanan. Kondisi sosial yang rawan tercermin dari makin maraknya radikalisasi akibat tindakan aparat yang malfungsi. Sementara sistem pertahanan-keamanan sering terabaikan, misalnya: pembenahan badan intelijen agar bekerja demi kepentingan nasional dan terbebas dari intrik politik, kontrol terhadap peredaran senjata dan bahan peledak, reformasi di bidang imigrasi dan administrasi kependudukan, serta hubungan diplomatik yang setara dan produktif.
Kado Misteri
Dalam konteks itu, Presiden SBY tak cukup hanya bersyukur dengan kado lebaran yang memprihatinkan: empat jenazah tersangka teroris dan seorang ibu hamil yang terluka parah. Lebih bermartabat, apabila tersangka teroris tertangkap hidup dan segera diadili. Peristiwa ini akan menandai: apakah pemerintahan baru yang dipimpinnya tetap melindungi seluruh warga negara atau justru mendiskriminasi kelompok tertentu? Stigma teroris kini sama kejamnya dengan label komunis dan ekstrem kanan atau ekstrem kiri di masa Orde Baru.
Kado lebaran yang mengerikan itu akan membuktikan: apakah kepemimpinan SBY pada periode kedua benar-benar efektif mengendalikan seluruh aparatus negara agar bekerja sesuai fungsinya di alam demokrasi atau segelintir oknum aparat memanfaatkan kelemahan pimpinan untuk melindungi kejahatan mereka? Kebijakan kontra-terorisme, seperti dirumuskan Marta Crenshaw (2001), merupakan produk dari dinamika politik di dalam dan luar pemerintahan, termasuk persaingan antara badan dan elite pemegang keputusan.
Dalam jumpa pers, Kombes Petrus Reinhard Golose, Kepala Unit V dan Cybercrime di Mabes Polri mengungkapkan isi laptop Noordin yang ditemukan dalam penyergapan. Ia menyebut rekaman video pelaku bom Marriott dan Ritz Carlton (Dani dan Nana) serta surat tersangka yang masih buron, Syaifuddin Zuhri, sebagai digital evidences. Itu bukti untuk kesalahan siapa, karena pelaku utama sudah tewas, kalau benar Dani dan Nana faktanya? Apakah itu alibi bagi Densus 88 untuk menyergap dan menembak mati Syaifuddin dan Syahrir yang sampai sekarang masih buron? Apakah polisi bersungguh-sungguh mengumpulkan bukti kejahatan teroris agar dapat diperiksa dalam proses peradilan yang jujur, atau untuk membenarkan tindakan ofensif di luar batas? Putusan peradilan yang memvonis mati tiga tersangka Bom Bali I (Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra) sangat berbeda substansinya dengan eksekusi terhadap Azahari, Noordin dan tersangka lain yang belum dibuktikan kesalahannya.
Apapun alasan aparat untuk mengungkap isi laptop yang misterius asal-usulnya itu, Dynno Chressbon tetap meragukannya, karena Noordin selama ini tidak pernah diketahui membawa laptop. Masyarakat juga terusik, bagaimana mungkin buron kelas kakap dalam pelariannya masih punya waktu untuk mendokumentasikan semua aksi terornya dalam sebuah laptop. Apalagi tujuan dokumentasi itu, menurut polisi, hanya untuk proposal mencari dana. Terorisme di Indonesia memang penuh misteri, terutama terkait siapa dalang (mastermind) dan penyandang dananya. ***
*) Penulis adalah alumni S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura dan partisipan Advanced Course on Counter-Terrorism (2007). Email: [email protected].