Agresi kebiadaban Isreal di tanah Gaza Palestina, dalam waktu tiga pekan, berakhir sudah. Simbahan darah, reruntuhan bangunan, raung tangisan dan tetesan air mata dan darah para korban perang di Gaza telah terekam oleh potret sejarah.
Semua itu menjadi rentetan bukti kelaliman Zionist Israel terhadap umat manusia, khususnya Rakyat Pelestina. Rekaman perang Gaza menjadi abjad dari bilangan frustasi negara biadab itu terhadap tragedi kemanusiaan, utamanya warga Palestina.
Seolah, kamera zaman tidak pernah berhenti memotret kaum pembangkang itu, karena dalam setiap klik lensa sejarah, rekaman kelaliman, culas, biadab dan haus darah, selalu menjadi ciri jejak dari tapak kaki Zionist Israel di bumi Tuhan ini. Walau demikian, karakter angkuh Zionist Yahudi tetap masih mampu mengelabui, bahkan tetap menarik simpati dunia. Seakan apa yang mereka lakukan terhadap puak lain di jagad ini, merupakan pembelaan diri dan mempertahankan entitas kehidupan mereka. Dengan pengelabuan ini, opini dunia menjadi perangkat yang siaga untuk menggolongkan orang yang kontra dengan Zionits Yahudi menjadi puak teroris, militan, fundamentalis dan sederet istilah minor lainnya.
Penguasaan opini dunia oleh Yahudi sudah menjadi rahasia publik, karena kekuatan Zionist Yahudi menjamah semua sektor lintas kehidupan manusia. Pengaruh Yahudi menyelusup dalam pelbagai lini, baik media, ekonomi, politik dan bahkan militer. Sehingga, umat manusia hampir tidak mampu mengelak virus ”antrak” pengaruh umat yang dilaknat Tuhan tersebut.
Kehancuran peradaban manusia di belahan bumi ini, seakan sulit untuk menafikan andil dari umat yang selalu mengingkari semua utusan Tuhan itu. Henry Ford dalam bukunya ”The International Jew” mengungkapkan semua kekuatan Yahudi Internasional yang menggurita dan sekaligus menjadi alat kejahatan mereka terhadap puak lain di atas dunia. Karena menariknya buku Henry Ford itu, Geral L.K Smith dalam penutup prakatanya di buku tersebut sampai mengungkapkan ”setiap pembaca mustahil akan menolak logika Henry Ford, dan saya sepakat sepenuhnya dengan Henry Ford bahwa Amerika dan dunia membutuhkan pengetahuan tentang hakikat Yahudi, dan hakikat itu telah membebaskan kita dari segala kejahatan dan bahaya yang timbul dari kegiatan dan segala aktifitas permusuhan Yahudi”.
Barangkali dari sini, sebuah pertanyaan bergolak dalam benak seorang pemikir muslim, Mohamad Thahir Ulwani. Dalam tulisannya yang berjudul ”Gaza wa Khitab al-Malhamiyah al-Qur’aniyah Li Bani Israel” (Islamonline, 01/02/2009), Ulwani menulis, mengapa banyak sekali ulasan al-Qur’an yang berkaitan dengan Bani Israel, yang mengesankan bahwa seolah mereka mendapat prioritas bahasan dalam al-Qur’an. Ulwani beranalogi bahwa banyaknya ulasan al-Qur’an tentang Bani Israel serupa dengan banyaknya ulasan al-Qur’an tentang Iblis. Keberadaan Iblis dihadapkan pada posisi konfrontatif dengan nabi Adam.
Begitu juga dengan Bani Israel yang berada pada tempat konfrontasi dengan umat Islam. Dua kelompok yang popular tadi (Iblis dan Bani Isreal) merupakan tamsil kebiadaban yang selalu berada dalam possisi kontra dengan golongan Adam dan umat muslim. Karena kedua golongan terakhir ini berusaha menginvestasikan idealitas kebenaran dalam realitas umat manusia.
Sekiranya interpretasi Ulwani di atas ”patut” dijadikan sandaran, maka peta damai antara umat muslim Palestina dan Israel hanya mampu terwujud dalam dunia ilusi yang tidak pernah konkrit. Perdamain yang diobralkan pihak Zionist Israel dan pelbagai negara sekutu karibnya (Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa) hanyalah perdamaian yang licik dan timpang, karena hanya berpihak kepada kemaslahatan Zionist Yahudi semata. Hal ini karena, logika dari kekacauan di kawasan Arab sekarang yang sejatinya adalah problematika Palestina telah disulap oleh Zionist Yahudi menjadi persoalan bagi Israel. Artinya, perdamaian di kawasan Palestina disebabkan karena ketidaknyamanan Israel yang selalu dimusuhi Palestina, bukan sebaliknya.
Padahal faktanya sangat antagonis, ketidaknyamanan, banyaknya pengungsi rakyat Palestina disebabkan oleh bercokolnya Zionist Israel di tanah Arab tersebut. Bertolak dari titik ini, semua pemimpin dunia faham, dan lensa sejarah sudah merekamnya, bahwa keberadaan Israel di Palestina bukan akibat, tapi sebab, sehingga melahirkan ketidak harmonisan dan peperangan antar anak manusia di tanah suci sana. Akan tetapi, dalam realitas opini kekinian, seolah ranah ”akibat” lah yang mesti diselesaikan, dengan bersikap acuh terhadap sebab dari persoalan waqi’nya.
Dari realitas di atas, nampaknya arah terminal damai yang dituju melalui kendaraan diplomasi yang selama ini dijadikan softpower, dan andalan oleh pelbagai pihak yang mengagungkan kata damai, hanya ruang waktu bagi Israel untuk membuat kehancuran selanjutnya atas Palestina. Dengan demikian, eksistensi Hamas sebagai Organisasi Perlawanan (al-harakah al-muqawamah) bagi Umat Islam Palestina merupakan hal mesti ada. Entitas Hamas yang lahir dari rahim gerakan pembebasan merupakan jawaban yang tegas dan terhormat bagi Israel dan sekutunya.
Dengan slogan ”al-intisar aw al-syahadah” yang berarti menang atau syahid, setidaknya Hamas telah menunjukkan bukti slogan tersebut dalam perang tiga pekan dalam medan laga di Gaza.
Tidak banyak yang mengetahui, bahkan banyak yang menganggap sumir, bahwa dalam perang yang disebut Hamas dengan al-furqan di Gaza tersebut, tenyata mendulang kemenangan. Di atas catatan kertas dan hitungan angka kekuatan, rasanya anggapan mustahil kemenangan Hamas sangat mewakili rasionalitas. Akan tetapi, terkadang kemenangan tidak melulu berdasarkan kekuatan fakta hitungan angaka.
Kemenangan Hamas agaknya menempati urutan irasionalitas kekuatan angka tadi, laiknya seperti yang pernah terjadi dalam perang Badar dan Hunain.
Dalam pernyataan resmi Hamas, seperti yang dilansir website resmi al-Qassam tanggal 19/01/2009, jumlah tentara Zionist yang mati sebanyak 80 orang, disamping ratusan yang luka-luka dan cidera. Juga pasukan al-Qassam telah menghancurkan 47 tank baja Israel, menjatuhkan 4 helikopter dan satu pesawat pengintai. Sebaliknya korban dari pasukan al-Qassam hanya 40 orang yang syuhada dan 1300 orang syahid yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia.
Dari data ini disimpulkan bahwa perang Gaza dimenangkan oleh Hamas, mengingat jumlah korban yang berperang (tentara) dan peralatan perang, jelas korban Zionist Israel lebih banyak jumlahnya. Kemudian, dari target yang selama ini didengungkan Isreal untuk membasmi gerakan Hamas terbukti gagal total. Faktanya, sampai saat ini, Hamas tetap menjadi sebuah kekuatan yang solid dan bahkan menjadi prototype perjuangan umat manusia, khususnya umat muslim terhadap kebiadaban Zionist Isreal.
Kemenangan Hamas ini jelas tragedi memalukan sekaligus memilukan bagi Israel dan sekutunya. Bagaimana tidak, upaya yang dilakukan Israel untuk melumpuhkan Hamas bukan hanya saat menghujani bom-bom di tanah Gaza. Akan tetapi semenjak lahirnya Hamas menjadi sebuah gerakan perlawanan menghadapi Israel. Para pemimpin Hamas di penjara, rakyat mereka di embargo, namun semua itu bukan membuat mereka lemah. Justru cobaan itu menjadi vitamin yang selalu menambah vitalitas perjuangan. Inilah kekuatan yang pernah diungkapkan Rantisi ”bagi kami (Hamas), mati karena sakit jantung dan mati karena serangan Apache adalah sama-sama mati, tapi mati karena serangan Apache lebih kami cintai”.
Perang Gaza telah membungkus kado kemenangan berharga dari Hamas. Seolah kado kemenangan itu bertuliskan ”kemanangan umat akan diraih dengan percaya diri, ketulusan niat, keyakinan yang kuat, azam yang sehat dan tsiqah dengan pertolongan-Nya, dan untuk menghadapi kekuatan Zionist Isreal tidak mesti dengan cara diplomasi, karena mereka itu tidak pernah mau menerima pendapat orang lain”. Pesan ini juga yang kemudian dilontarkan PM Turki, Tayyib Ardogan kepada Simon Peres, kamu (Yahudi) memang tidak pernah mau mendengar! Waallahu alam
Penulis :
Hermanto Harun; Dosen Fak Syariah IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Doktor National University Of Malaysia.