Sikap dan model Royson Jordany yang tidak jera bahkan makin merajalela dengan tampilan yang “dekat pejabat” sungguh keterlaluan dan menyesakkan. Wajah wajah Royson dalam kehidupan sehari hari di masyarakat kita cukup banyak dan meresahkan. Keangkuhan kelas karena kekayaan atau kedekatan membuat masyarakat mulai merasa jengkel bahkan muak. Ada api dalam sekam sebenarnya.
Pemerintah terlebih aparat kiranya dapat lebih tanggap dengan keadaan ini. Royson, Philips dan sejenisnya mesti diproses hukum dengan adil. Diskriminasi mesti dihentikan. UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis bukan hanya berlaku bagi rakyat atau masyarakat tetapi juga bagi pejabat dan aparat.
Bangsa Indonesia tidak boleh menjadi obyek diskriminasi. Kita perlu waspada oleh para WNI yang tak mau diakui sebagai bangsa Indonesia. Mereka bahkan lebih bangga disebut bangsa Cina. Ketika kita dibatasi menyebut diri Pribumi mereka lebih suka menyebut bangsa nenek moyangnya. Pembauran hanya ceritra tentang masa lalu.
Koruptor besar bermata sipit banyak yang kabur ke negeri moyangnya atau ke negeri “aman”. Mengeruk untung dengan cara haram di negara Indonesia. Ketika terbongkar keserakahannya lalu kabur. Kita teringat Eddy Tanzil, Syamsul Nursalim, Eko Adi Putranto, Djoko Tjandra, Samadikun Hartono. Atau pengemplang pajak (tax havens) atas nama James Riady, Eka Tjipta Wijaya, Keluarga Salim, Sukanto Tanoto, dan Prayogo Pangestu. Semua pengeruk kekayaan bangsa dan negara Indonesia.
Royson adalah wajah keturunan Cina non muslim yang menjadi wajah negara “up to date”. Kuantitas dan kualitas yang jauh bergeser dari masa lalu. Bukan yang berbasa basi berendah diri pada kaum pribumi. Kini telah menjadi anak bangsawan atau raja.
Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar dalam peraturan perundang undangan atau sikap tegas pemerintah, maka pribumi akan habis dan akan menjadi kacung di negerinya sendiri. Kacung di negerinya sendiri ! (*sumber)
*Penulis: M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)