Kamis siang (5/5), wajah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tampak sedikit ‘kencang’. Di depan wartawan yang mengerubunginya, politisi Golkar tersebut mengeluhkan kritik dan kecaman yang terus-menerus menyerang institusi tempatnya mencari nafkah. Terakhir dia mengeluhkan sikap pelajar Indonesia di Australia terkait email bodong Komisi VIII.
“Janganlah kita senang meributkan hal-hal kecil, di antaranya meributkan SMS, email, untuk hal-hal yang sebenarnya perlu dicari jalan keluar untuk hal-hal yang bersifat subtantif,” keluh Priyo sembari mengatakan jika kritik yang mengarah ke DPR mulai mengada-ada dan bahkan lembaga yang seharusnya terhormat ini menjadi bahan olok-olokan rakyat.
Sikap Priyo ini bermula dari kasus pelesiran anggota DPR dari Komisi VIII yang mengurusi masalah agama dan sosial dengan dalih hendak studi banding penuntasan masalah fakir miskin, padahal parlemen Australia sedang reses alias libur.
Adalah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang dengan berani menanggap mereka dan menggelar acara tanya jawab. Peristiwanya bisa dibaca di banyak situs di internet, juga videonya di youtube. Memalukan, memang. Apalagi ketika Ibu Astriani Sinaga, staf ahli Komisi VIII dari PKS, menjawab, “Emailnya komisidelapanatyahoodotcom…”
Setelah dicek, ternyata tidak ada alamat email seperti yang disebutkan. Hal ini menjadi bahan perbincangan di dunia maya dan kemudian diangkat di media massa nasional. Jika benar anggota DPR punya akun email di situs umum seperti Yahoo atau Google, ini patut disayangkan karena semua data yang ada bisa diintip Amerika. Namun ada juga yang curiga, jika anggota Komisi VIII menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui DPR, karena DPR sendiri sesungguhnya punya web hosting khusus, yang berarti dengan sendirinya email untuk masing-masing Komisi pasti ada.
Logikanya, jika Komisi VIII tidak memakai fasilitas itu, kemungkinan ada sesuatu hal yang ditutup-tupi oleh Komisi VIII yang tak boleh diketahui DPR.
PPI Australia sendiri dalam evaluasinya atas pelesiran Komisi VIII DPR menyebutkan jika studi banding itu ternyata hanya mendengarkan presentasi dari perwakilan Australia, dan materi yang disampaikannya juga bisa dengan mudah diunduh lewat internet, sehingga Komisi VIII seharusnya tidak perlu repot-repot pergi ke Australia. Apalagi ditemukan bukti jika yang namanya proses studi banding mengenai kemiskinan itu ternyata dilakukan di Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, bukan di pemukiman Aborigin yang memang kumuh atau di kantor pelayanan terkait.
Dan yang lebih memprihatinkan, ternyata kemampuan berbahasa asing yang dimiliki para delegasi DPR ini minim, sehingga di dalam pertemuan yang banyak dipakai adalah “bahasa Tarzan”. Banyak dari mereka yang ketika menerima buklet atau buku berbahasa Inggris pura-pura membaca, padahal ora mudeng alias tidak mengerti dengan isinya.
Jika Komisi VIII pelesiran ke Australia, maka Komisi X DPR pelesiran ke Spanyol. Parlemen Spanyol juga sedang libur sehingga mereka benar-benar memanfaatkan pelesiran ini dengan tamasya. Apalagi di antara mereka ada yang membawa serta isteri dan anak, sama seperti yang dilakukan Komisi VIII yang ke Australia. Anggota Komisi X menyempatkan diri piknik mengunjungi klub Real Madrid dan Barcelona. Rombongan wakil rakyat itu beramai-ramai melihat stadion megah milik 2 klub raksasa Eropa tersebut.
Tidak mau ketinggalan, Komisi I DPP juga pelesiran di Perancis dan Italia. Bahkan sebagian anggota yang juga bawa isteri dan anak, meminta izin untuk tidak ikut pulang bersama rombongan dan meneruskan pikniknya bersama anak dan isteri di Perancis maupun Italia.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengiyakan hal ini, “Ada yang minta izin, silakan. Selesai acara, mau tinggal silakan, biaya sendiri, pulangnya berbeda, silakan. Asalkan tidak mengganggu perjalanan.” (24/4)
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kunjungan itu hanyalah sebagai upaya menghambur-hamburkan uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak. Untuk 2011 saja, kunjungan ke berbagai negara anggota DPR itu menghabiskan Rp.12,7 miliar. Kunjungan ke Prancis dan Italia menghabiskan Rp.944,5 juta. Anggaran paling banyak dihabiskan untuk dua kali kunjungan ke Amerika Serikat dan Spanyol yang menghabiskan Rp.5,8 miliar. Dua kali kunjungan itu dilakukan oleh anggota Komisi I dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR.
Kelakuan anggota DPR ini kian hari memang kian menjadi-jadi. Diawali dari acara pelantikan anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014 saat itu yang sangat mewah dengan menelan biaya sekitar Rp.11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Padahal rakyat Indonesia sedang banyak yang kelaparan.
Metro TV (7/9/2009) menyebutkan jika biaya pembuatan pin anggota DPR saja mencapai Rp.5 juta perorangnya. Dan biaya Rp.11 miliar itu baru dari KPU saja, belum ditambah dari kas DPR sendiri (baca: uang rakyat) sebesar Rp.26 miliar atau sekitar Rp.46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan ditanggung rakyat) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta (Kompas.com, 9/9/2009).
Lalu yang santer belakangan ini adalah rencana konyol pembangunan gedung DPR yang akan menghabiskan biaya sekitar Rp.1,8 triliun rupiah. Ketika mendapat kecaman masyarakat, DPR pun mendiskonnya beberapa kali, hingga tinggal “hanya” Rp.1,138 triliun saja. Luas ruangan kerja bagi setiap anggota DPR di gedung baru nanti direncanakan 111 meter persegi, dengan total biaya per-ruangan sekitar Rp.800 juta. Ini belum termasuk meubel dan laptop.
Ketika rakyat memprotes rencana penuh kemubaziran tersebut, Ketua DPR Marzuki Alie dengan entengnya bilang jika rakyat tidak perlu diajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut, karena mereka tidak bisa paham. “Ini cuma orang-orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru DPR), rakyat biasa tidak bisa dibawa,” ujar Marzuki Alie kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (1/4/2011).
Kelakuan bejat anggota DPR yang lainnya adalah melakukan perzinahan dengan sekretaris pribadinya, selingkuh, korupsi, bahkan sempat-sempatan asyik nontop film porno di saat sidang paripurna. Padahal mereka sudah menerima gaji dan tunjangan ini dan itu yang sangat besar, rumah dinas mewah, mobil dinas terbaru berharga miliaran rupiah, dan fasilitas dahsyat lainnya. Gila, memang.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan, mendapatkan temuan jika setiap kali kunjungan ke luar negeri, maka tiap anggota Dewan pasti mendapat uang saku sebesar Rp.20-28 juta dan uang representasi sekitar Rp.20 juta. Koalisi Masyarakat Sipil memperkirakan, pada tahun 2010 dana studi banding DPR RI mencapai Rp.162,94 miliar dan berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi.
Menurut hitung-hitungan FITRA terhadap APBN 2011, misalnya, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ membengkak, dari rencana awal Rp.20,9 triliun dalam RAPBN 2011, menjadi Rp.24,5 triliun dalam APBN 2011. Menurut data yang dimiliki FITRA, belanja perjalanan ke luar negeri merupakan belanja yang terus membengkak setiap tahunnya.
Dalam APBN 2010 pun, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp.16,2 triliun, lalu membengkak menjadi Rp.19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011). Membengkaknya anggaran perjalanan di APBN 2011 ini tentu bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi juga DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011.
Sekarang coba kita bandingkan. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp.5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari Rp.19,8 triliun di APBN-P 2010 menjadi Rp.13,6 triliun di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp.209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp.50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan. Ini berarti uang saku perjalanan dinas anggota DPR sekali jalan ke luar negeri adalah 500 kali lipat lebih banyak ketimbang uang jaminan gizi buruk seorang balita bangsa ini selama satu tahun!
Gambaran ini hanya sebagian kecil potret anggota DPR kita. Jika demikian, rasanya wajar jika banyak orang menjadi muak terhadap mereka. Apakah Anda masih mau menyebut mereka sebagai “Anggota Yang Terhormat”? You Decided…
Dan bagi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di negara-negara lainnya, apa yang dilakukan PPI Australia terhadap anggota Komisi VIII bisa menjadi contoh yang sangat baik, di mana peran intelektual sebagai penjaga garda moral terdepan, dilakukan dengan berani dan cerdas. Jika ada lagi anggota DPR yang pelesiran ke luar negeri, kawal mereka dan jika perlu buat laporan harian dengan menyebut jam per jam apa saja yang mereka lakukan di negeri orang itu.
Apakah mereka memang bekerja demi bangsa dan negara seperti yang selama ini selalu mereka klaim, atau malah piknik bersama keluarga. Buat catatan tertulisnya, rekam audionya, dan juga videonya. Unduhlah di You Tube agar semua orang bisa menyaksikan apa yang mereka kerjakan. [rz]