Manuver Yusril ini lebih merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Prabowo-Sandi, karena komunikasi politik yang belum tuntas untuk menghasilkan formulasi “double winner” di pilpres dan pileg.
Jika komunikasi Yusril dengan koalisi Prabowo-Sandi terajut, dan formulasi “koalisi keumatan” disepakati bersama, maka akan berpotensi menggagalkan kontrak lawyer Yusril dengan Jokowi-Maruf. Istana akan kecewa.
Tapi sebaliknya, jika komunikasi Yusril dengan kubu Prabowo-Sandi buntu, alias gagal, maka upaya istana untuk mengganggu koalisi keumatan berhasil. Yusril bisa jadi peluru untuk menyerang.
Lalu, bagaimana nasib PBB jika akhirnya merapat ke Jokowi-Maruf? Apakah langkah ini akan dapat Coat-tail effect dari Jokowi-Maruf? Belum terukur. Tunggu survei Denny JA, kata Yusril.
Boleh jadi sebaliknya. Suara PBB akan jeblok. Sebab, ceruk PBB ada di keumatan. Mengingat PBB berbasis Masyumi. Belum pernah ada Masyumi satu perahu dengan PNI. PNI modern adalah PDIP.
Publik akan menunggu, apa yang akan terjadi dengan PBB kedepan. Yang jelas, manuver Yusril lahir dari kepanikan karena keadaan yang menghawatirkan bagi PBB kedepan. Jika anda jadi Yusril, mungkin anda akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, langkah Yusril merapat ke istana serta merta rajin menyerang Prabowo-Sandi dianggap publik sebagai “jurus mabuk”. Satu sisi menguntungkan Jokowi-Maruf, di sisi lain bisa membahayakan PBB itu sendiri. Di sini nama dan moralitas Yusril sedang dipertaruhkan. [swr]
*) Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa