Komunikasi politik dijalin. Yusril mendekati Prabowo-Sandi. Lewat Kaban, proses negosiasi dimulai. Draft aliansi ditawarkan. Rupanya, gayung belum tersambut. Masih butuh proses dan waktu. Yusril hilang kesabaran. Satu-satunya jalan, buat manuver. Yusril merapat ke kubu Jokowi-Maruf. Jadi lawyer. Gayungpun bersambut.
Kata Yusril, ini murni sebagai lawyer. Urusan profesionalitas. Gratis pula. Publik bertanya, kalau profesional, mana ada yang gratis? Kalau gratis, itu tidak profesional. Ada-ada aja Pak Yusril.
Yusril dikenal sebagai lawyer kelas atas. Atasnya atas. Kelas elit. Elitnya elit. Termasuk paling mahal. Tarifnya bisa tiga juta USD. Kira-kira berapa kalau dirupiahkan? Hitung sendiri. Apalagi harga dolar makin tinggi. Hanya Partai Golkar dan orang-orang sekelas Abu Rizal Bakri yang mampu membayar. Mana mungkin gratis? Apalagi negonya sama pihak istana. Gudangnya duit. Bagi istana, satu triliun untuk mendapatkan Yusril tak rugi. Karena pertama, dapat lawyer. Kedua, dapat peluru untuk menyerang koalisi keumatan. Lalu, apa untungnya bagi PBB?
Pertama, Menaikkan daya tawar kepada Prabowo-Sandi. Seolah Yusril ingin mengatakan: kami bisa membahayakan kalian jika kalian mengabaikan kami. Sejumlah pernyataan dan kritik Yusril yang “pedas” kepada Prabowo-Sandi bisa berarti bagian dari ancaman itu. Sekaligus meyakinkan kubu Jokowi-Maruf bahwa keberadaan Yusril memberi manfaat untuk kubu ini. Mirip Ngabalin. Meski sebelumnya, Yusril adalah salah satu tokoh yang sangat kritis kepada pemerintahan Jokowi. Bahkan pernah menilainya amatiran. Yusril pun pernah bilang presiden “goblok”. Presiden manapun, kata Yusril berkelit. Tentu publik paham siapa yang dituju Yusril.
Kedua, untuk menaikkan popularitas. PBB masih ada, hidup dan siap bangkit. Siap berselancar di pileg dan pilpres 2019. Ini efek lain dari manuver Yusril.
Manuver politik Yusril yang dikemas dalam bahasa lawyer pasti sudah dihitung. Tidak hanya oleh Yusril sebagai personal lawyer, tapi hampir pasti sudah dibicarakan dengan elit partai di PBB.