Jokowi “Setengah Mati” oleh Ulahnya Sendiri

Oleh Yusuf Blegur – Mantan Presidium GMNI

PERADABAN manusia akan selalu menampilkan para pemimpin rakyat, baik yang jujur dan adil maupun yang berlaku aniaya dan dzolim. Ada pemimpin yang ditulis sejarah sebagai orang baik dan banyak memberi manfaat. Ada pula yang berlumur kejahatan, membuat kerusakan dan menjadi ancaman bagi kehidupan dunia.

Tak ada presiden di Indonesia yang di akhir masa jabatannya begitu ngotot mempertahankan kekuasaannya. Soekarno yang kharismatik dan mendunia, harus pasrah menerima keadaan ketika dilengserkan. Begitupun dengan Soeharto yang berwibawa dan disegani, rela mengundurkan diri saat pemerintahannya masih berjalan. Habibie malah legowo untuk tidak mencalonkan kembali sebagai presiden meskipun hanya me jababat selama 17 bulan. Bahkan seorang  Gusdur terlihat  tanpa beban saat dipaksa turun dari jabatannya. Selebihnya,  Megawati dan SBY taat pada semangat reformasi dan  konstitusi menjabat presiden tidak lebih dari 2 periode.

Presiden-presiden Indonesia terdahulu  mampu menunjukkan jiwa besar dan sikap negarawannya. Terlepas dari goncangan dan tekanan politik yang hebat, mereka mampu mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas segalanya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, betapapun plus minusnya kepemimpinan mereka. Atas nama undang-undang dan demi mendengar aspirasi dan keinginan rakyat, mereka mau berhenti, mengundurkan diri dan tidak mencalonkan kembali sebagai presiden. Kiprah mereka sebagai pemimpin terutama ketika mengakhiri jabatannya sebagai presiden, patut menjadi contoh sekaligus legacy nasionalisme dan patriotisme bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara Jokowi, belum genap masa jabatan 2 periodenya berakhir. Justru terus mewacanakan dan berupaya keras menjabat 3 periode dan atau memperpanjang jabatannya. Jokowi entah menyadari atau tidak jika memaksakan kehendaknya tersebut, ia malah bertentangan dengan konstitusi. Bukan hanya mengkhianati salah satu inti amanat reformasi yang membatasi masa jabatan presiden hanya 2 periode. Syahwat kekuasaan melampaui batas itu akan menimbulkan preseden buruk bagi penyelenggaraan hukum dan ketatanegaraan. Jokowi mungkin akan menjadi yang pertama dan satu-satunya orang yang menyandang gelar sebagai presiden pengkhianat reformasi.

Mantan walikota Solo dan gubernur Jakarta yang penuh kontroversi dan polemik itu, sejak menjabat presiden sudah dihantui dengan pelbagai isu dan skandal yang menyeretnya.  Sebagai figur pemimpin yang dianggap presiden paling buruk dari presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jangankan dengan Soekarno atau Soeharto, dengan Habibie saja yang kurang dari dua tahun masa jabatan presidennya, Jokowi masih jauh dibandingkan terutama dalam soal jiwa besar dan prestasinya. Habibie biar bagaimanapun tidak dirasuki ambisi kekuasaan dan sebagai seorang teknokrat ia mampu berpikir dan bertindak demi rakyat, demi bangsa dan demi negara. Habibie dengan senang hati ingin segera mengakhiri dan tak ingin terus menerus mempertahankan atau memperpanjang jabatan presiden yang digenggamnya. Lain Habibie, lain Jokowi.  Begitupula Jokowi dengan Gus Dur, Megawati dan SBY, perbedaannya seperti langit dan bumi. Jokowi cenderung  dinilai publik tak ada jiwa besar, tak ada sikap negarawan dan tak ada nasionalisme dan patriotisme. Alih-alih menjadi presiden Indonesia yang dihormati dan dibanggakan baik secara nasional maupun internasional layaknya Soekarno dan Soeharto. Jokowi malah dianggap presiden yang paling dimusuhi dan dibenci  rakyatnya sendiri terutama dari kalangan umat Islam.