JOKOWI POST POWER SYNDROME ATAU MEMANG SAKIT ?

by M Rizal Fadillah

Didatangi banyak orang ke rumahnya, pejabatpun diipanggil untuk menghadap, keluyuran diabring-abring, bagi-bagi bingkisan hingga tandatangan sana tandatangan sini. Tidak ada prasasti, motor Vespa pun ditandatangani. Bak artis, orang mengerubungi entah karena prihatin atau lumayan dapat berfoto-foto dengan mantan.

Seperti gembira gerak-gerik Jokowi purna tugas tapi sesungguhnya raut wajahnya ruwet. Ketika menjawab persoalan rilis OCCRP nampak kusut meski spesialis ngeles ini tetap menyeletuk “mana bukti” he he ia mengerti atau pura-pura tidak mengerti bahwa OCCRP itu bukan ICC atau ICJ yang berbasis bukti. OCCRP adalah lembaga jurnalisme yang menampung input jaringan investigasi dunia.

Banyak tokoh dunia jika sudah “dikepret” OCCRP langsung “klepek-klepek”. Negara yang disorot selalu heboh bahkan koruptor Bashar Assad  tumbang. Jokowi terkejut namanya melejit di luar dugaan. Bergabung bersama William Ruto juga Sheikh Hasina. Jangan main-main dengan OCCRP, karena lembaga ini kredibel. Jokowi tidak usah berfikir mau lapor atas pencemaran nama baik ke Polsek Colomadu. Nanti dipertanyakan kesehatan jiwanya.

Bercitra bahwa Jokowi adalah Presiden tiga periode merupakan Post Power Syndrome (PPS). Ia kesana kesini merasa masih sebagai Presiden yang dielu-elukan dan sakti mandraguna. Tidak ada yang bisa menyentuhnya. Rasanya semua masih mengabdi dan “nurut” kepadanya. Patung pun dibuat untuk memperhebat dirinya.

Dengan pakaian putih blusukan mengkampanyekan Cawalkot/bupati, titip ini titip itu, hingga kunjungan kerja dengan pengawalan dan penyambutan khusus. Ia gemar bermain di alam presiden-presidenan. Sebenarnya kasihan juga pak Jokowi. Tapi mengingat dosa politiknya yang menumpuk, maka rasa kasihan dapat dikalahkan oleh semangat untuk mengadili dan menghukum.

Jika terus “jet lag” dan tidak bisa sadar-sadar, maka tentu hal ini bukan lagi Post Power Syndrome, tetapi sakit kekuasaan. Bisa Megalomania atau gangguan kepribadian narsistik (Narcissistic Personality Disorder) yang tidak pernah merasa salah atau jika salah ia bermain sebagai korban (Playing Victim). Contohnya adalah ungkapan “mana bukti”, lalu “framing jahat”.

Narcissistic Personality Disorder (NPD) termasuk gangguan menetap artinya sulit disembuhkan. Butuh terapi serius dengan obat-obatan, baik obat anti depresan, anti kecemasan, anti psikotik, anti kejang, penstabil mood dan tentu juga harus sering konsultasi kepada psikolog atau psikiater.

Sebaiknya Jokowi segera sadar bahwa dirinya bukan lagi Presiden. Setelah berstatus Ksatria saatnya menjadi Brahmana pasca mungkin pernah menjadi Waisya dan Sudra. Jika itu memakai konsepsi kasta. Jadilah petapa yang bijak, guru kehidupan, bukan terus cawe-cawe merendahkan diri seperti orang stress karena tidak berkuasa lagi. Masuk ke gorong-gorong kembali.

Jika orang NPD tidak mendapat respons selayaknya dan di luar kendali, maka bisa mengalami gangguan mental lebih parah yaitu Skizofrenia. Ada delusi, halusinasi,  emosi datar, tidak tahu diri sendiri, kekacauan berfikir dan tidak bisa membedakan khayalan dengan realita.

Jokowi mungkin baru NPD setingkat lebih dari PPS oleh karenanya masih dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Untuk itu seruan atau desakan agar Jokowi ditangkap dan diadili adalah rasional, obyektif dan semestinya.

Adalah kerugian besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia jika Jokowi ternyata sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan segala perbuatan jahatnya.
Menurut Pasal 44 KUHP gila itu menjadi alasan pemaaf. Jika Jokowi ingin dimaafkan, ya gila dulu.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 14 Januari 2025

Beri Komentar