Tiga hasil dari penggergajian demokrasi, pertama, democrazy yaitu rakyat yang menjadi gila karena kepemimpinan yang gila-gilaan.
Kedua, mobokrasi yakni kekuasaan kaum gerombolan melalui tampilan premanisme hukum, politik, dan budaya.
Ketiga, korporatokrasi tukang kayu yang hanya berpikir bisnis. Korparat harus diuntungkan dan rakyat menjadi obyek proposal investasi dan hutang luar negeri.
Menurut media Inggris ini, Jokowi memang berubah dari tukang meubeul sederhana yang merakyat “man of the people” menjadi petahana yang terpencil dan jauh dari rakyat “surrounded by courtiers from capital’s intertwined bussiness and political elites”. Terkepung dan tersandera.
Dalam sejarah perubahan politik sebenarnya situasi ini adalah sinyal dari semakin dekatnya kejatuhan. Sulit membayangkan kemampuan Jokowi untuk dapat membalikkan “distrust” menjadi simpati dan kokoh berdiri di kaki sendiri. Melepas kendali jalinan bisnis dan tekanan elit politik.
Menggergaji demokrasi bukan solusi tetapi justru jalan melawan konstitusi dalam mempercepat gerak menuju lokasi kuburan sendiri.
“Jokowi sama dengan Soeharto” kata The Economist.
(Penulis: M. Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.)