by M Rizal Fadillah
Bagi sebagian orang sanksi ini agak ngeri tapi bagi demonstran yang biasa mengkritisi dan menyalahkan Jokowi atas keadaan carut marut bangsa dan negara, ungkapan hukum gantung menjadi hal yang biasa. Sebagai ekspresi dari kekesalan luar biasa atas kinerja rezim yang tidak bertanggungjawab, banyak dusta, nepotis dan korup.
Aspirasi terhadap Jokowi, famili dan kroni kini adalah tangkap dan adili. Tahapan berikut yaitu membangun efek jera pada rezim-rezim kemudian. Hukuman mati mengemuka atas kejahatan mega korupsi, pelanggaran HAM berat, serta penghianatan negara. Penghukuman dilakukan dengan tembak atau gantung. Yang pertama berdasar Penpres 2 tahun 1964 dan kedua bersandar pada Pasal 11 KUHP.
Pasal 11 KUHP berbunyi :
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”
Banyak pihak beranggapan bahwa tatacara menjalankan hukuman mati sebagaimana Pasal 11 KUHP tersebut telah mutlak tidak berlaku dengan adanya Penpres No 2 tahun 1964 yang mengubah tata cara pelaksanaan hukuman dengan cara ditembak hingga mati.
Ada argumen dan keyakinan bahwa Penpres 2 tahun 1964 itu tidak serta merta menghapus ketentuan Pasal 11 KUHP tetapi memperkaya dalam arti dapat dilakukan pilihan tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati tersebut yaitu tembak atau gantung. Adapun alasan hukumnya adalah :
Pertama, Penpres 2 tahun 1964 kedudukannya berada di bawah undang-undang sehingga tidak bisa menghapuskan pasal-pasal dalam KUHP. Bahwa kemudiannya diubah menjadi UU No 2/Pnps/1964 sama sekali tidak mengubah isi dari Penpres No 2 tahun 1964.
Kedua, dalam Penpres No 2 tahun 1964 ternyata tidak ada satu pasal atau kalimat pun yang menyatakan bahwa Pasal 11 KUHP menjadi tidak berlaku atau dihapus. Justru menegaskan keberlakuannya melalui narasi “dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka…”.
Ketiga, dasar diterbitkannya Penpres 2 tahun 1964 adalah karena tata cara pelaksanaan hukuman mati yang ada dinilai tidak sesuai dengan perkembangan “kemajuan keadaan” serta “jiwa revolusi”. Kemajuan keadaan itu relatif sebab saat ini beberapa negara masih menerapkan hukum gantung. Adapun alasan “jiwa revolusi” malah dinilai sudah “out of date”.
Keempat, konsideran mengingat Penpres No 2 tahun 1964 yang dikaitkan dengan “Manifesto Politik” sebagaimana dalam Tap No 1/MPRS/1960 sudah sqngat tidak relevan lagi, sehingga UU No 2/Pnps/1964 secara hukum mesti ditinjau kembali.
Berbagai kesalahan bahkan kejahatan Jokowi selama memerintah 10 tahun ini ternyata jauh lebih merusak dibandingkan Presiden Presiden sebelumnya. Alasan hukum untuk menangkap dan menahan Jokowi sangat kuat. Untuk kejahatan Nepotisme dengan ancaman maksimal 12 tahun saja sudah cukup. Proses peradilan atas kejahatan pelanggaran HAM berat, korupsi dan penghianatan Negara, Jokowi terancam hukuman mati.
Wajah tenang dengan tampilan sederhana ternyata mengecoh rakyat. Ada kelicikan dan kebengisan di balik penampilan atau pencitraan. Kolaborator bagi penjajah asing atau etnik tertentu. Kerakusan membuka jalan untuk eksploitasi habis-habisan sumber daya alam. Jokowi bukan saja minim prestasi tetapi menumpuk akan dosa politiknya.
Hukum mati Jokowi, eksekusi dengan tembak mati. Jika perilaku jor-jorannya berakibat pada hikuman yang tidak membuat takut bagi rezim-rezim berikut, maka gantung saja sesuai aturan Pasal 11 KUHP. Bukankah dahulu ada tokoh yang menantang untuk digantung di Monas jika melakukan korupsi ? Ternyata ia terbukti divonis korupsi. Tantangannya pun hingga kini masih menggantung.
Tangkap dan adili Jokowi. Bui, tembak mati atau gantung dengan ditonton oleh penduduk negeri. Kezaliman harus dihentikan dan diberi sanksi meski usia jabatan tinggal beberapa hari lagi.
Jokowi, famili dan kroni harus diberi edukasi melalui eksekusi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 25 Septembe