Masifitas gebrakan Jokowi ditandai keputusan mengejutkan. Menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab utama proyek lumbung ketahanan pangan itu.
Keputusan tanpa prakondisi pemaparan secara tehnis hasil pengkajian dan tanpa ditopang rasionalitas analisis yang penjamin keberhasilan program kilat lumbung pangan itu akan berhasil. Yang pasti kedudukan dan posisi Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dipertanyakan masyarakat. Tidak lazim pergeseran posisi menteri dilakukan presiden di pinggir pematang sawah. Di luar kota. Jauh dari Istana.
Beberapa teman mengirim pesan pertanyaan melalui WhatsApp. Apakah keputusan presiden itu adalah “reshuffle” terselubung? Ada lagi yang lebih tajam dengan menyebutkan keputusan kilat Jokowi itu, sejenis “kudeta” merangkak terhadap kabinetnya sendiri.
Kehadiran tak diundang pandemi Covid 19 itu dibaca publik sebagai blessing indisguise bagi Jokowi untuk “melompati” mekanisme birokratis yang berjenjang panjang dan bekerja sangat lamban. Menjadi pintu masuk yang terbuka otomatis memenuhi naluri kerja, kerja, kerja yang berorientasi hasil yang menjadi ciri khas perwatakan budaya kerja sang presiden.
Di atas kecemasan dan keresahan masyarakat menghadapi penetrasi virus yang misterius itu, Jokowi menemukan alasan untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan selera gaya kerjanya. Melabrak budaya para menteri yang selama ini lebih banyak memainkan trik-trik seremonial melalui kemasan program dengan aroma kerakyatan semu. Menghabiskan uang rakyat tanpa makna. Diolah agen penjual paket pencitraan polesan lembaga survey berbayar.
Sejatinya pandemi membuka jalan perubahan langgam birokrasi yang lamban, tambun dan feodalistik. Jokowi dengan sigap menangkap peluang itu.
Para menteri yang notabene adalah pembantu presiden, di mata masyarakat tidak ada satupun yang berhasil menjawab gangguan pandemik dengan tampilan yang mengesankan. Tidak heran jika rakyat menyaksikan hampir tiap minggu Jokowi mengeluh, mengeritik dan marah-marah terhadap kinerja menterinya yang jauh di bawah standar minimal.
Wajar jika Jokowi kecewa bahkan resah. Konsep mitigasi masyarakat amburadul di tangan tim orkestra negara. Konsolidasi para menteri mengecewakan. Bukan cuma Jokowi juga masyarakat luas lebih kecewa. Mereflesikan pembantu tidak mampu menolong tuannyanya dari kegamangan yang menekan.
Atas nama 267 juta jiwa rakyat, -narasi itu berulang-ulang diucapkan Jokowi. Lebih menyerupai benteng perlindungan dari kemarahan rakyat yang kebingungan. Menjadi mantra sakti atas tindakan daruratnya. Sekaligus sebagai apologi kepada rakyat. Agar mau memahami presidennya telah bekerja keras untuk rakyat. Namun tidak terdukung oleh kinerja dan kapasitas para pembantunya.
Puncak justifikasinya diekspresikan dengan mengeksekusi jabatan Mentan pindah kepada Menhan di tepi pematang sawah.