Jokowi Bicara Radikalisme

Apa konsepnya, apa objeknya, apa bentuknya dan apa unsurnya? Tak jelas. Terlihat sejauh ini diserahkan ke dunia politik. Pak Wamen juga benar, silaturrahim adalah wahana indah menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim dilintasan indah ini. Insyaa Allah.

Waktu

Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi yang tidak jelas detail konsep itu secara hukum, walau terlihat dipertautkan dengan agama, khususnya Islam, sejauh yang bisa dikatakan tak mendominasi pertimbangan Presiden Jokowi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum.

Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya tidak jelas, tetapi dijadikan basis kebijakan negara, harus dikatakan sama dengan main politik.

Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya.

Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya, tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi, hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum.

Negara hukum demokratis, sekali lagi, mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa hebat ini.

Negara hukum demokratis mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized, bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak dan tak terukur tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur hanya menghadirkan legitimasi murahan. Itu karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai hebat bangsa ini.

Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya

terlihat kongklusif. Juga muncul ditengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya.

Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis. Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan.