Eramuslim.com – Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Lalu memproyeksi realitas baru. Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kemenag mengurusi radikalisme dan intoleransi.
Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Katanya sesaat setelah pelantikan menteri “ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau (CNNIndonesia, 24/10).
Sehari setelah itu, Presiden menyatakan dalam rapat perdana kabinet “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama. Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurutnya karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan mengatasi masalah radikalisme yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik (Wowkeren, 25/10).”
Insyaa Allah
Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit sejauh tersedia bakat untuk, misalnya bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungin dan sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali, pada garis kehendak yang ditetapkan.