Moeldoko sempat mengakui bahwa ada keteledoran sumberdaya manusia dalam perekrutan Harry ke Istana. Walau aneh bagi publik untuk percaya bahwa lembaga seberwibawa KSP tidak memiliki alat untuk menyelidiki latar belakang seseorang yang masuk lingkaran dalam kekuasaan.
Seharusnya Moeldoko bersedia memberikan penjelasan rinci dan transparan tentang siapa yang teledor dalam rekrutmen, siapa yang merekomendasikan Harry masuk istana, serta bagaimana sepakterjang Harry di istana. Hal itu demi memperkuat komitmen ‘gebuk’ dari Presiden serta menambah informasi kepada aparat penegak hukum mengenai kemungkinan keterlibatan aktor-aktor penting di dalam kekuasaan.
Jika KSP ‘reluctant’ untuk memberikan penjelasan publik seterang-terangnya ihwal keberadaan Harry di sana, spekulasi bahwa Harry berupaya mendapatkan suaka politik dan hukum saat ia mendapatkan jabatan sebagai staf istana, tak bakal mudah dihentikan.
Ketertutupan Istana akan informasi perihal Harry juga akan menurunkan harapan yang sudah sedemikian tinggi diarahkan publik kepada Kejagung. Apalagi, Kejagung terkesan menggunakan standar ganda dalam menyelesaikan dua kasus mega korupsi asuransi plat merah: bertindak cekatan pada kasus Jiwasraya tetapi memilih tidak menangani kasus ASABRI.
Pilihan untuk ‘cuci tangan’ pada kasus ASABRI itu menafikan dugaan bahwa sebagian aktor penyelewengan investasi kedua BUMN asuransi itu diduga orang-orang yang sama. Tentu, hal itu mengecewakan publik.
Harapan publik yang membuncah terhadap pengungkapan kasus Jiwasraya dan ASABRI akan kian gembos ketika dukungan politik untuk pengungkapan skandal-skandal ini tak juga bertambah.
Hingga saat ini, hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS saja yang mendukung pembentukan Pansus penyelidikan skandal megakorupsi tersebut di DPR. Parpol-parpol penguasa ngotot agar kasus Jiwasraya diselesaikan di level Panja yang fokusnya pada hal-hal teknis.
Seolah-olah, ada bau kekhawatiran yang menyengat tatkala mereka dihadapkan pada usulan pembentukan Pansus. Padahal, keberadaan Pansus justru mempertajam proses investigasi sedetail-detailnya hingga merambah perihal aliran dana ke semua pihak yang terlibat.
Sesungguhnya, hanya lewat pembentukan Pansus lah harapan publik untuk membongkar kasus-kasus super itu dapat ditambatkan.
Sampai di sini kita dapat menilai bahwa retorika ‘gebuk’ dari Presiden itu selain dimentahkan secara prematur oleh respons reaktif KSP, juga digagalkan secara signifikan oleh keengganan parpol koalisi pemerintah mendukung pembentukan Pansus.
Mungkin, Presiden masih punya peluang untuk menjaga harapan publik itu dengan mengeluarkan pernyataan lain yang meminta paprol-parpol pendukungnya di DPR mendorong pembentukan Pansus. Hal serupa pernah dilakukan Presiden SBY saat merespons kasus Century yang nilainya jauh lebih kecil dibandingkan skandal Jiwasraya dan ASABRI.
Tetapi, banyak kalangan menyangsikan Presiden berani mengambil opsi ‘buka-bukaan’ tersebut. Jika Presiden merasa bahwa instruksi ‘gebuk’ sudah cukup dan tak perlu ditambah dengan pernyataan dukungan terhadap pembentukan Pansus di DPR, kita akhirnya mafhum bahwa ‘gebuk’ dalam pernyataan beliau hanyalah sejenis ‘gebuk bantal’ yang akan membuat oleng aktor-aktor yang lemah, tapi tak cukup kuat untuk merubuhkan orang-orang besar di balik skandal korupsi BUMN terbesar sejak Indonesia diproklamasikan. (*glr)
Penulis: Jemmy Setiawan
Ketua DPP Partai Demokrat