Dengan demikian, pernyataan ‘gebuk’ yang dilontarkan Presiden tersebut terasa hampa maknanya, karena alat terkuat untuk menggebuk para pencuri uang negara itu itu telah berubah jadi lembek.
KPK sebagai lembaga yang sebelumnya paling dipercaya publik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, memilih tidak ikut cawe-cawe dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Tentu ironis. Sebab, logika publik menganggap bahwa kejahatan terhebat sepantasnya dihadapi oleh pemberantas kejahatan terhebat.
Jika banyak politisi partai penguasa mengkritik OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK yang hanya melibatkan uang senilai ratusan juta sehingga dinilai sebagai korupsi skala kecil, maka KPK seharusnya menjawab kritik itu dengan membongkar habis kasus Jiwasraya dan ASABRI yang melibatkan uang puluhan triliun rupiah. Apadaya, KPK memilih tenggelam dalam arus tuntutan pengungkapan kasus Jiwasraya.
Memang, publik seakan mendapatkan harapan baru ketika dalam dua pekan terakhir, Kejaksaan Agung yang mengambil inisiatif dalam kasus skandal Jiwasraya menetapkan lima orang tersangka.
Mereka adalah aktor-aktor yang dianggap kunci dalam dugaan penyelewengan investasi perusahaan asuransi pelat merah itu, yaitu Harry Prasetyo (Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya), Benny Tjokrosaputro (Komisaris PT Hanson International Tbk), Heru Hidayat (Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk), Hendrisman Rahim (mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya) dan Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya). Kelimanya ditahan sejak Selasa (14/1) untuk jangka waktu 20 hari, yang berakhir minggu depan.
Pihak Kejaksaan juga menggeledah 15 lokasi yang sebagian merupakan kantor perusahaan manajemen investasi. Seperti PT Hanson Internasional Tbk, PT Trimegah Securities Tbk, PT Pool Advista Finance Tbk, PT Millenium Capital Management, PT Jasa Capital Asset Management, dan PT Corfina Capital Asset Management.
Di rumah Harry Prasetyo, Kejagung menyita berbagai barang mewah dan perhiasaan. ‘Pertunjukan kemewahan’ tersebut sudah pasti memancing keingintahuan lebih besar dari publik terhadap kasus ini.
Karena, belum lama berselang, publik tanah air juga disuguhi berita mengenai penyelewengan yang terjadi pada BUMN Penerbangan, di mana Direktur Utamanya juga digambarkan bermewah-mewahan dengan koleksi moge yang bejibun.
Meski demikian, munculnya harapan publik kepada Kejagung agar mengungkap kasus Jiwasraya secara tuntas mulai terganggu oleh pernyataan-pernyataan reaktif dari Istana, manakala terdapat suara-suara kritis yang menyinggung ‘sejarah’ Harry Prasetyo di Medan Merdeka.
Selepas berhenti dari Jiwasraya dengan masalah keuangan yang akut, Harry diangkat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP). Wajar jika publik ingin mengetahui riwayat rekrutmen dan sepakterjang Harry di Istana.
Sayangnya, alih-alih memberikan penjelasan detail mengenai asal muasal Harry dan siapa yang ‘membawanya’ ke posisi penting di istana, Moeldoko justru ‘menyerang’ pihak yang menuntut penjelasan dengan istilah ‘halu(sinasi)’.
Reaksi keras Moeldoko itu mencerminkan keinginan agar pembicaraan publik mengenai Jiwasraya dibatasi di luar pagar Istana. Hal itu tidak sejalan dengan pernyataan Presiden agar siapapun yang terlibat ‘digebuk’, sekalipun ia atau mereka berada di dalam Istana.