Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Perilaku Jimly, ayah dari salah seorang putra yang kabarnya menjabat direksi di BUMD DKI Jakarta, sehingga berpendapat hukum yang blunder, dan justru lebih berkesan meneror majelis hakim PTUN yang menangani No.133/G/TF/2024/PTUN.JKT. terkait gugatan terhadap KPU. RI. oleh seorang Tokoh Besar Politik Nasional, Megawati Soekarno Putri atas nama kan Ketum PDIP. Dan ternyata “sounding nya” Jilmy, seolah hanya demi seorang Gibran yang terancam vonis batal eksistensinya sebagai Wapres RI mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto. Karena opini hukum Jimly sarat dengan unsur-unsur intervensi hukum dan intimidasi ke PTUN. Bukan sekedar amicus curiae (pendapat hukum) sebagai sumbangsih kepada para hakim pada sebuah perkara. Namun pendapat yang tidak sepatutnya dari seorang pakar hukum dan eks ketua MK dan wakil rakyat (Anggota DPD RI).
Apakah Jimly ketakutan atau sekedar rasa sungkan kepada Jokowi orang tua Gibran? Hal penyebab ini tentu sulit diketahui.
Atau kah ada hubungannya dengan pemberian putusan Jimly sebagai salah seorang anggota MKMK yang memberhentikan Anwar Usman karena telah melanggar kode etik hakim. Namun Jimly sengaja tidak menyebutkan dalam putusannya, bahwa terhadap sidang pelanggaran etik terkait putusan MK dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap putusan syarat capres dan cawapres, wajib diulang kembali dengan susunan majelis hakim yang seluruhnya berbeda” Jo. UU. RI. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan sebagai dirinya anggota legislatif dan pakar hukum, Jimly tidak mendorong putusan produk MKMK melalui opini hukum kepada KPU. Agar menolak pendaftaran Gibran, sehingga Prabowo Subianto dapat segera mengganti pasangan cawapresnya (Gibran) saat pra pilpres. Sehingga Jimly merasa ketakutan kepada Jokowi dan kroni, khawatir dianggap berkhianat, karena putusan MKMK ternyata dapat dijadikan pembatalan Gibran sebagai wapres serta munculkan polemik hukum, bahkan berimplikasi sengketa politik lainnya. Selain, jika “ada janji-janji” bakal menjadi ambyar.
Selebihnya statemen hukum Jimly bukan sebagai sekedar amicus curiae atau friends of court (opini hukum para ahli), namun sudah kategori ancaman (tendensius). Karena Jimly sebagai seorang pakar hukum dengan sengaja memutarbalikkan makna prinsip sistim hukum terkait tugas pokok dan fungsi hakim Jo. UU. Kekuasaan Kehakiman. Jimly bisa saja dilaporkan ke pihak yang berwajib oleh individu publik atau oleh sebuah kelompok.
Karena pada prinsipnya sesuai sistem hukum merujuk SEMA No 9 Tahun 1976 yang menegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata mengacu kepada SEMA tersebut.
Oleh sebab kronologis hukum yang dilakukan Jimly versi kasus PTUN a aquo terkait Tergugat KPU dan berdampak eksistensi cacat hukum Gibran sebagai Wapres, maka melahirkan perspektif dan logika hukum dan akibat faktor realitas gejala-gejala kerisauan dan gonjang ganjing publik. Sehingga menjudge, “Jimly melakukan hal yang yang tidak patut melalui pola intimidasi PTUN”. dan terbukti membuat kegaduhan ditengah-tengah kehidupan masyarakat hukum dan masyarakat umum selaku pemerhati penegakan hukum dan keadilan.
Maka tidak mustahil andai ada pihak-pihak yang melaporkan Jimly oleh sebab bohong dengan modus mengancam hakim PTUN dengan pola memutarbalikkan info hukum, Jimly bisa saja bermuara di penjara oleh sebab hukum di NKRI ekualitas terhadap setiap WNI atau equality before the law. (-)