Juga tentang Kapolres Ismiadi yang diseret dengan Jeep Wilis sejauh 3 km hingga wafat. Setelah tentara dibunuhi, gantian polisi dilibas. Kemudian pejabat, ulama, serta para santri.
Pascagerakan komunis berhasil dihentikan di tahun 1948, pada 1965 PKI kembali beraksi.
Buya Hamka, Ketua MUI pertama dan para ulama lainnya dipenjara. Mereka difitnah oleh kalangan PKI yang saat itu sangat dekat dengan pemerintah berkuasa. Tak hanya menerima siksaan setiap hari, Buya Hamka memperoleh ancaman akan disetrum kemaluannya.
Deretan kisah mengiris hati di atas pernah saya baca, tapi tidak akan saya ceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Karena mungkin hanya dianggap serpihan dari peristiwa kecil.
Tapi, kini mari kita lihat apa yang terjadi jika komunisme berkuasa. Di Uni Soviet, sekitar 7 juta orang tewas dalam Revolusi Bolsevik dipimpin oleh Lenin. Di masa Stalin 20 juta orang terbunuh untuk memuluskan program komunisme.
Salah satu cara komunisme bertahan adalah, melestarikan tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh, berapa pun jumlah korban yang dibutuhkan. Di Kamboja, sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai untuk mengukuhkan kekuasaan komunis. Di Cina jumlah korban meninggal dalam revolusi diduga mencapai 80 juta.
Jadi, jika PKI bangkit, memangnya kenapa? Pertanyaan seperti ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan.
Jika PKI pernah mengkhianati kemerdekaan bangsa, apa jaminan mereka tidak akan mengulanginya?
Jika baru mempunyai sedikit kekuasaan saja sudah membantai begitu banyak orang, apa yang terjadi jika memegang kekuasaan besar?
Jika komunisme dilatih tidak bisa berbeda pendapat, lalu di mana letak kebebasan?
Dan yang terpenting dari semua itu, jangan berteriak korban. Mengutip Ahmad Mansur Suryanegara, PKI di Indonesia bukan korban, mereka pelaku. Atau istilah Agung Pribadi dalam buku Gara-Gara Indonesia, ini saatnya rekonsiliasi, kita bisa maafkan, tapi jangan lupakan sejarah pembantaian yang dilakukan PKI.[tsc]