Kota Palembang belum seperti itu. Hasilnya, LRT Palembang tak mampu mendorong masyarakat beralih ke angkutan massal. Walhasil, pendapatan LRT dari penjualan tiket juga tidak bisa menutupi biaya operasional. Lagi pula, LRT ini tidak terkoneksi dan tidak terintegrasi dengan terminal bus, pasar rakyat, pelabuhan dan stasiun kereta api. LRT hanya terkoneksi dengan bandara dan mal.
Nasi sudah menjadi bubur. Kini, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan fungsi ideal atas nasib LRT Palembang ke depannya.
Kita patut miris mendengar kondisi itu. Soalnya, proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya pada tahun 2015 ini dibiayai dengan duit utang. Ya, utang dari China Development Bank (CDB), salah satu konsorsium BUMN Cina. Bank ini menggelontorkan doku kepada pemerintah Indonesia sebesar 5,1 juta dolar AS, tanpa jaminan.
Cerita itu bermula ketika lahir PT Kereta Api Cepat Indonesia-China. Ini adalah perusahaan hasil kongsi BUMN China dengan BUMN Indonesia. Pemegang sahamnya 75 persen BUMN China dan 25 persen BUMN Indonesia. BUMN Indonesia itu terdiri PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dan PT Jasa Marga Tbk.
Jebakan Itu
Kongsi BUMN kedua negara tadi tak lepas dengan ambisi China dengan gagasannya yang bertajuk OBOR atau One Belt, One Road yang kemudian berubah menjadi Belt and Road Initiative atawa BRI. Negeri Panda ini menyediakan dana satu triliun dollar untuk memulai BRI.
Dana ini dipinjamkan ke negara-negara yang dilalui oleh jalur sutra abad 21 ini. Mereka ‘diwajibkan’ membangun infrastruktur yang diperlukan BRI. Termasuk jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan pusat-pusat industri.
Negeri Tirai Bambu itu mengucurkan pinjaman ke negara-negara tersebut. Dalam perjalanannya, tidak semua negara mampu membayar utang pokok dan bunga pinjaman lunak itu. Mulailah sejumlah negara menjadi gagal bayar. Ada delapan negara yang menonjol sebagai gagal bayar, yaitu Djibouti, Tajikistan, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro.
Ujung dari cerita itu, China menyita proyek vital negeri-negeri tersebut. Sri Lanka yang tak mampu mengembalikan utang 1,5 miliar dolar AS diminta untuk menyerahkan pengelolaan pelabuhan utamanya kepada China dengan perjanjian sewa 99 tahun. Selanjutnya, angkatan laut China memakai pelabuhan itu.