Hari sudah gelap. Jarum jam telah mendekat ke angka sembilan. Hujan sudah reda menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Seorang bocah perempuan dengan rambut ala Dora The Explorer menghampiriku yang tengah berdiri menunggu bus. Bocah itu berkulit terang, pakaiannya juga bersih. Tangan mungilnya menarik ujung bajuku.
“Om.. Om..,” katanya.
Aku refleks melihat ke bawah. Bocah itu tingginya hanya sepinggangku. Dia mungkin baru kelas satu atau masih TK. Tangan satunya memegang sebuah nampan kecil berisi enam buah gemblong.
“Mau gemblong Om, enak deh…,” ujarnya membujukku. Belum sempat aku menjawab, dia berkata lagi, “Murah Om, cuma seribu rupiah. Beli ya Om…”
Aku tersenyum. Ada rasa haru di mataku melihatnya. Namun perutku benar-benar belum lapar. Aku menggelengkan kepala seraya meminta maaf. Tapi bocah itu tidak menyerah. Dengan ekspresi wajah yang tetap ceria dia berkata, “Murah Om. Ibuku sendiri lo yang buat. Tuh di sebelah sana…”
Telunjuk mungilnya bergerak mengarah ke seorang ibu yang sedang duduk menunggu gerobak gorengan di atas trotoar. Aku berjongkok dan menatap bocah itu. Kedua matanya begitu bening. Kulitnya bersih.
“Nama kamu siapa?”
“Nila,” ujarnya singkat.
“Sudah kelas berapa?”
Nila tersenyum malu. Wajahnya sedikit menunduk. “Aku belum sekolah Om…”
“Kenapa?”
“Kata ibuku, aku harus ikut jualan dulu biar dapat uang. Kalo ada uang baru bisa sekolah…”
Aku trenyuh mendengarnya. Kedua mataku basah.
“Gemblongnya enak lo, Om… Jadi beli kan?” Bocah itu rupanya tetap fokus pada tugasnya.
Aku tidak sampai hati menolaknya. Aku mengangguk dan mengeluarkan uang sepuluh ribuan. Ah andai aku punya uang lebih di dompet ini….
Nila tersenyum dan mengambil uang itu. Wajahnya jadi lucu. Dia menitipkan nampan itu padaku. “Sebentar ya Om, aku ambil kantung plastik dulu…”
Belum sempat aku menjawab, bocah itu sudah berlari dengan kakinya yang kecil ke aras sang ibu. Sesaat kemudian tangannya sudah memegang plastik putih kecil.
“Sini Om, kuenya dimasukkan ke dalam plastik dulu. Ini kembaliannya…,” ujarnya seraya menyerahkan uang seribuan empat lembar. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Kembaliannya ambil aja, buat jajan kamu…”
Nila tersenyum lebar, “Terima kasih ya Om!” Dia kemudian melompat-lompat riang mendekati ibunya.
Aku terus melihatnya dari jauh. Bocah kecil itu mengatakan sesuatu pada ibunya dan meneruskan bermain sendirian di taman. Di dalam bus, aku melempar pandangan ke luar jendela kaca yang sudah buram. Sepanjang jalan, anak-anak sebaya Nila, bahkan bayi dan yang baru bisa berjalan, tampak di mana-mana. Anak-anak jalanan di Ibukota ini terus aja bertambah. Dan ini adalah indikator paling sederhana yang bisa menunjukkan jika orang miskin di Indonesia kian hari kian bertambah banyak.
Entah mengapa aku ingat janji Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri yang berkata, “Akhir 2011 nggak ada lagi anak jalanan di Jakarta.” Mensos mengucapkan janji ini di Kantor Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (21/12/2010). “Mereka akan disekolahkan, dan sebagian (dari) mereka yang di-DO (drop out) atau putus sekolah akan diberi pelatihan-pelatihan.”
Mensos juga menyatakan jika pihaknya berupaya menaikkan anggaran untuk anak jalanan sebesar 4 persen dari seluruh anggaran Kemensos, atau sekitar Rp 271 miliar.
Aku tersenyum sendiri. Sejak Orde Barunya Harto sampai sekarang, logika pejabatnya sama saja. Kenaikan anggaran dianggapnya bisa mengintensifkan penuntasan masalah yang ada. Logika ini sesungguhnya benar, jika seluruh aparat pelaksananya amanah. Jika anggaran yang disediakan untuk menuntaskan masalah anak jalanan sebesar Rp 100 miliar, misalnya, maka anggaran sebesar itu akan sungguh-sungguh digunakan untuk menuntaskan masalah anak jalanan.
Namun kita semua sudah tahu, semua jajaran birokrat (99,999%-nya) bermental korup. Bukan isapan jempol jika di banyak departemen, ‘tingkat kebocoran’ anggaran mencapai 80% dan hanya 20%-nya yang benar-benar digunakan untuk proyek yang sesungguhnya. Ini kesaksian dari sejumlah ‘orang dalam’. Inilah faktanya.
Sebab itulah, saya haqqul yaqin jika di akhir tahun 2011 ini, anak-anak jalanan di Jakarta bukannya menghilang, namun akan berlipat-lipat banyaknya.
Di sisi lain, janji-janji para pejabat publik, seharusnya ditulis di sehelai kertas bermaterai berikut sanksi-sanksinya. Jika dia tidak mampu memenuhi janjinya, maka dia harus ikhlas bin rela binti legowo untuk mundur dari jabatanya karena memang tidak mampu memenuhi target kerja. Seorang salesman atau debt collector saja memiliki target kerja berikut sanksi-sanksinya jika gagal memenuhi target itu, maka apatah lagi seorang pejabat publik setingkat menteri yang sudah dilimpahi berbagai kenikmatan fasilitas mewah yang ada, dari gaji dan tunjangan yang besar, rumah dinas nyaman, dan mobil mewah berharga miliaran rupiah, yang semua kenikmatan itu hasil memeras uang rakyat.
Terkait janji Mensos yang mengatakan anak-anak jalanan akan hilang dari ibukota di akhir 2011, maka sekarang kita tinggal wait and see saja. Jika terpenuhi alhamdulillah, Mensos seperti ini harus tetap dipertahankan terus walau mungkin presiden bisa berganti, agar anak-anak jalanan dan juga orang-orang miskin bisa naik kelas menjadi anak-anak berpendidikan dan menjadi orang-orang berkesejahteraan. Namun jika tidak terpenuhi, maka mundur saja tanpa harus didesak siapa pun . Itu akan jauh lebih bermartabat. Kita tunggu saja. [rz]