Jangan Sampai Pemaksaan BPJS Menjadi Alat Tampar ke Presiden

Banyak Masalah

Banyak masalah dari ketentuan kewajiban yang mensyaratkan dalam jual beli tanah warga Indonesia wajib memilik kartu BPJS Kesehatan.

Pertama, hal ini menjadi beban tambahan bagi para notaris. Selama ini selain diwajibkan memeriksa soal pajak para penjual dan pembeli tanah, notaris juga sudah diisyaratkan untuk ikut membantu PPATK menelusuri asal muasal duit untuk jual beli tanah. Sekarang tambah lagi dengan pekerjaan untuk mengecek keaslian kartu BPJS Kesehatan beserta kewajiban pelunasannya. Kalau notaris “kecolongan” kartu BPJS Kesehatannya bodong atau belum dibayar, tetapi transaksi jual beli tanahnya disahkan, maka notaris harus ikut bertanggung jawab. Dan itu hukumannya nanti bisa saja berlaku hukum pidana. Berarti kalau notaris teledor, siap-siap bakal dapat sanksi. Jadi, hanya menambah kerjaan notaris saja.

Kedua, kalau seluruh anak bangsa untuk seluruh penyakit, dari yang ringat seperti flue sampai yang berat operasi tingkat 4, seluruhnya memakai BPJS Kesehatan , perlu dipertimbangkan apakah kapasitas rumah sakitnyan sudah memadai. Sekarang aja para pemakai BPJS Kesehatan untuk menunggu dapat no antrian pemeriksaan pada waktunya, sudah harus antri dari subuh, dan sering baru  sore dapat giliran. Itu pun tindakan operasinya rata-rata baru dapat terlaksana dua minggu atau sebulan kemudian, lantaran penuh.

Bagaimana kalau seluruh strata masyarakat tiba-tiba untuk seluruh jenis penyakit yang dimungkinkan  okeh BPJS Kesehatan memakai BPJS Kesehatan? Pastilah rumah sakit kewalahan. Pelayananpun otomatis bakal menurun.

Di sisi lain, sudah hampir  dipastikan kaum “the have” walaupun punya kartu BPJS Kesehatan tidak akan mempergunakannya, dan lebih memilih jalur private, bahkan kalau perlu memilih perawatan VIP. Nah, ini berarti dari mereka cuma mau diambil duitnya yang gak seberapa, tetapi kepatuhan pemakaian kartu BPJS menjadi tidak penting.

Ketiga, administrasi  institusi pertahanannya sudah siap atau belum? Sekarang aja urusan administrasi pertahanan boleh dibilang sektor yang paling kacau balau. Kalau ada sertifikat yang  diduga bodong atau palsu, atau memang bodong atau paksu sungguhan, kementerian yang mengurusi tanah, tidak pernah mau mengeluarkan pendapat bahwa sertifikat itu palsu atau bodong.

Instansi ini menyuruh para pihak langsung menempuh jalur hukum, baik ke pengadilan negeri maupun PTUN. Hal ini sekarangbsudah merepotkan dan menjadi salah satu panggkal sengketa di pertananan. Nah, apalagi sekarang, kalau mereka ditambah beban harus mememeriksa kelengkapan syarat kartu BPJS Kesehatan. Apa gak tambah sibuk dan tambah panjang waktunya, termasuk yang utama apa gak tambah birokratis? Peralihan dan kepastian hukim kepemilikan tanah dengan adan syarat tanbahan ini dapat diprediksi bakal tambah ruwet.Apalagi kalau di daerah-daerah kecil yang pelayanan BPJS Kesehatannya masih kurang.

Keempat, kewajiban menyertakan kartu keanggota BPJS Kesehatan menimbulkan persoalan yuridis. Kalau seluruh transaksi jual beli tanahnya sudah sah, tetapi masih kurang kewajiban menyertakan bukti kartu keanggotaan BPJS Kesehatan, apakah transaksi jual beli tanah itu kini tetap sudah sah, atau tidak? Jadi, menimbulkan problem baru keabsahan jual beli tanah.

Kelima, dan ini salah satu yang penting, apakah pemaksaan harus melampirkan bukti keanggotaan  BPJS  Kesehatan dalam transaksi jual beli tanah melanggar hak-hak asasi manusia (HAM) atau tidak? Pemaksaan memakai masker jelas berguna buat puablik, buat rakyat, buat bangsa, sehingga bukanlah dalam katagori pelanggaran HAM, tetapi pemaksaan wajib memiliki BPJS Kesehatan dalam jual beli tanah, apa kegunaaannya untuk masyarakat luas, untuk publik. Loe mau jual beli tanah, gak ada hubungan dengan gue kok. Begitu kira-kira tidak ada hubungan jual beli tanah antara pihak dengan rakyat. Lalu apa hubungannya secara langsung?