Jangan Sampai Pemaksaan BPJS Menjadi Alat Tampar ke Presiden

OLEH: Wina Armada Sukardiwechat sharing button

DI tengah-tengah “gaduh” adanya peraturan yang mewajibkan seluruh rakyat Indonesia yang mau jual beli tanah harus  punya kartu BPJS Kesehatan, alias wajib  menjadi anggota BPJS Kesehatan yang sangat kontraversial itu, Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menambah riuh dan kontraversial soal ini.

Dia mengatakan, banyak orang yang belum tahu kepesertaan BPJS itu wajib. Lantas dia menambah dahsyat gaduhya, karena membuat analogi, yang hemat penulis tidak saja salah kaprah, tetapi juga justru melemahkan upaya pemberantasan pandemi Covid-19.

Ia mencontohkan kewajiban melampirkan BPJS Kesehatan dalam jual beli tanah itu, seperti kewajiban pakai masker saat pandemi Covid -19. “Kalau dibilang memberatkan, terangnya, ya memberatkan. Namun harus dipaksa,” katanya sebagaimana dikutip di berbagai media.

Waduh, apa dia tidak paham, antara kewajiban moral memakai masker dan kewajiban hukum melampirkan keikutsertaan BPJS Kesehatan dua hal yang sangat berlainan logikanya, dan dua hal yang berbeda bidang.

Untuk Melindungi Orang Lain

Orang memakai masker, bukan hanya untuk melindungi dirinya pribadi sendiri, tetapi juga untuk melindungi orang lain: rakyat dan bangsa dari tertular covid-19. Jadi, unsur memberikan kemanfaatan langsung kepada “anak bangsa” luar biasa besar dalam kasus orang wajib memakai masker.

Lalu apa hubungannya antara kewajiban menjadi peserta BPJS dengan kegunaaannya buat rakyat? Memangnya kakau orang membeli tanah lantas berdampak langsung kepada “anak bangsa?” Gak ada hubungan sama sekali.

Kemudian, kira-kira siapa yang paling besar melakukan transaksi jual beli tanah? Rakyat umumnya kalau membeli tanah juga lantaran sudah sangat terdesak karena butuh tanah buat tempat tinggal. Itu pun jumlahnyab gak luas. Jadi, mereka membeli tanah karena dorongan kebutuhan priemer.

Demikian kalau mereka menjual tanah, biasanya lantaran karena ada warisan yang mau dibagi-bagi. Bukan sekedar mau menanggok coan besar.

Untuk biaya kesehatan, golongan ini gak disuruh juga bakal menjadi anggota BPJS Kesehatan. Maklum kalau disuruh bayar biaya kesehatan sendiri, mereka umumnya gak bakalan mampu.

Pembeli tanah lain selebihnya kaum menengah dan yang paling banyak beli tanah kaum elit. Buat sebagian besar mereka seperti ini, kemungkinan besar jika berobat tidak ingin memakai fasilitas BPJS.  Mereka memilih fasilitas yang sesuai dengan kantong mereka sendiri.

Selain itu, kalau keanggotaan BPJS Kesehatan merupakan keanggotaan pribadi, para orang berduit sering melakukan jual beli tanah dengan atas nama perusahaan atau organisasi. Jadi, kewajiban menyertakan kartu BPJS juga tidak efektif untuk mengumpulkan duit dari strata masyarakat seperti ini.

Berbagai kewajiban menyertakan bukti keanggota BPJS berawal dari Instruksi Presiden (Inpres) 1/2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan itu diteken Presiden Jokowi, 6 Januari lalu.

Inpres tersebut pada intinya menginstruksikan kepada berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, Polri, BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Dewan Jaminan Sosial untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional.

Sedangkan Kementerian ATR/BPN kemudian menindaklanjuti Inpres tersebut dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) yang diteken Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Suyus Windayana. Surat itu pada intinya menyatakan sejak tanggal 1 Maret 2022 kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat permohonan pelayanan jual beli tanah.