Jangan Lupakan Kejahatan HAM Atas 6 Syuhada

Namun pada 10 Desember ditetapkan sebagai tersangka untuk perbuatan pidana yang mengumpulkan orang-orang atau menciptakan kerumunan tersebut. Abila semula HRS akan diperiksa sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana, kemudian dikembangkan menjadi tersangka tindak pidana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, ditambahkan (diakumulasikan) dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum.

Ketiga, dalam pemeriksaan oleh penyidik pada 12 Desember, dinyatakan bahwa HRS ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, juga disangkakan dengan Pasal 160 KUHP atas perbuatannya “menghasut orang-orang untuk berkumpul” atau “menciptakan kerumunan” di kediamannya sehubungan dengan acara pernikahan anaknya dan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.

Keempat, dengan demikian HRS diancam dengan pidana paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta untuk Pasal 93 UU Karantina Kesehatan dan diancam dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun untuk sangkaan Pasal 160 KUHP junto Pasal 216 KUHP. Mengapa akumulasi ancaman pidana ini diterapkan, mungkin hanya dengan alasan inilah HRS bisa ditahan.

Dari sinilah benar jika ada yang menganggap bahwa penggunaan pasal-pasal pidana kepada HRS adalah dipaksakan alias ‘maksain banget’.

‘Memaksakan Kehendak’
Mencermati pasal-pasal pidana yang diterapkan kepada HRS maka kita sudah bisa memastikan bahwa ada usaha dari penyidik untuk memaksakan kehendak agar HRS dapat ditangkap dan ditahan. Kebetulan Pasal 93 UU Karantina yang sejak lama disadari memiliki kelemahan karena: cenderung tidak memiliki kepastian hukum, bersifat pasal karet, dan tidak selaras dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana itu, bisa ditarik kesana-kemari. Dan tampaknya terbukti menimpa HRS.

Adanya sanksi pidana penjara yang dapat juga diakumulasi dengan sanksi denda menjadikan norma hukum ini tidak sesuai dengan asas kepastian atau lex certa) dan juga kurang tegas dalam mengatur (lex stricta). Bahayanya, pelakunya bisa saja cuma didenda secara administrative atau dipenjarakan, atau bisa juga kedua-duanya. Semua tergantung pada aparat penegak hukum.

Selain itu, dalam pemidanaan semestinya berlaku prinsip ‘ultimum remedium’, dimana sanksi pidana penjara adalah pilihan terakhir apabila sanksi administrative masih bisa diberikan. Lebih celaka lagi jika digandengkan secara akumulatif dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan di muka umum) dan 216 KUHP (melawan perintah pejabat yang menjalankan undang-undang).