Eramuslim.com – ADA tanda tanya besar ketika terjadi penetapan tersangka terhadap Habib RIzieq Shihab (HRS) pada Jumat (10/12) lalu, terkait dengan dasar ketentuan pidana yang ditetapkan kepolisian. Kebingungan ini semakin menguat setelah HRS diperiksa sebagai tersangka, Minggu (12/12 kemarin di Mapolda Metro Jaya.
Sebagaimana diketahui bahwa HRS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka umum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP.
Kepolisian menyampaikan kepada publik, didukung dengan opini ahli hukum yang mendukung proses penyidikan oleh polisi, bahwa HRS dikenakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum terkait dengan perbuatannya ‘menghasut orang-orang untuk berkumpul di kediamannya’ ketika berlangsung acara pernikahan putrinya yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan lalu.
‘Meluruskan Sangkaan dan Perbuatan’
Untuk itu sudah sepatutnya diluruskan logika jumpalitan dalam fenomena unik terkait penegakan hukum terhadap perbuatan HRS ini, yang pokok-pokoknya adalah:
Pertama, semua pihak harus menyadari bahwa satu-satunya perbuatan yang dapat dipersangkakan kepada HRS hanyalah mengumpulkan orang atau menciptkan kerumunan pada masa berlangsungnya karantina Kesehatan menghadapi wabah penyakit, yaitu pandemik Covid 19 di kediamannya.
Bahwa perbuatan ini dapat diancam dengan pidana bila merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Kedua, HRS pada mulanya hanya dimintakan keterangannya sebagai saksi menyangkut berkumpulnya orang-orang atau kerumunan di kediamannya tersebut.