Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjamin bahwa Anas Urbaningrum tetap menjadi ketua umum partai. Sama sekali tidak ada rencana Partai Demokrat menggelar konges luar biasa untuk mengganti Anas.
Pernyataan jaminan SBY terhadap Anas Urbaningrum itu, hanyalah ingin mengakhiri badai politik, yang memporak-porandakan Partai Demokrat. Dengan pernyataan Ketua Dewan Pembina itu, berbagai spekulasi dan polemik yang merupakan ekses dari terkuaknya megaskandal yang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin dan elite Demokrat, berakhir.
Hakikatnya serangan yang ditembakkan Nazaruddin langsung ke jantung sasaran elite Partai Demokrat itu, sesungguhnya Partai yang seumur jagung sudah tamat. Legitimasinya sudah habis sebagai partai politik. Akibat pernyataan Nazaruddin itu, seluruh borok-borok, tak dapat lagi ditutup–tutupi. Semuanya persoalan yang melibatkan elite Partai Demokrat itu, sudah menjadi domain publik. Termasuk pernyataan Nazaruddin yang menyebutkan aliran dana kepada Anas Urbaningrum, serta praktik menggunakan uang dalam pemilihan ketua partai, juga diungkap Nazaruddin.
Gonjang-ganjing di dalam internal Demokrat itu, sampai menimbulkan keinginan sejumlah kader dan elite yang ingin menumbangkan Anas. Karena itu, serangan terhadap kepemimpinan Anas lewat pesan sngat (SMS) atau BBM (Blackberry Messenger), yang menyebutkan ada gerakan dalam tubuh Partai Demokrat untuk menggelar konges luar biasa. Jika efek pemberitaan yang sumbernya dari SMS Marzuki kepada Presiden SBY, yang menginginkan dilangsungkannya kongres luar biasa itu berhasil, dan Presiden SBY membiarkannya, maka Demokrat hanya akan tinggal nama.
Nazaruddin yang bak "sampah" sekarang ini, terus melakukan serangan ke elite Partai Demokrat. Nazaruddin sebagai Bendahara Umum Demokrat itu, menjalankan "bisnis" yang khas partai. Dengan cara menggerogoti APBN di Kementerian-kementerian melalui tender-tender proyek.
Di mana siasat yang dijalankan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini untuk meraup proyek pemerintah. Caranya berselingkuh dengan birokrat (pejabat) di sejumlah kementerian, dan kemudian Nazaruddin menebarkan duit itu, ke perbagai lini : elite partai, aparat penegak hukum, bahkan lingkaran paling dalam kekuasaan. Maka, menghapus korupsi di Indonesia sangat sulit, ibaratnya seperti ingin membasmi iblis dan setan. Bagaimana anak muda yang baru berumur 32 tahun, berhasil menjalankan bisnis "abal-abal" itu berhasil meraup triliun rupiah, dan dia bukanlah satu-satunya pelaku.
Modus operandinya Nazaruddin mendirikan perusahaan "abal-abal". Perusahaan "abal-abal" itu, yang dia gunakan untuk mengeruk proyek bernilai triliun rupiah dari berbagai kementerian. Lalu, dalam setiap proyek itu, Nazaruddin menyodorkan nilai harga proyek yang sudah dimarkup, dan diatas rata-rata 40 persen pasar. Kenyataannya, harga itu tetap diterima oleh kementerian. Karena, Nazaruddin adalah Bendaraha Umum Partai Demokrat, yang merupakan ‘the rulling party’ alias partai berkuasa, dan ketua dewan pembinanya SBY, selaku presiden.
Setelah berhasil menggerogoti APBN pemerintah melalui proyek-proyek itu, lalu Nazaruddin menggelontorkan uang itu, ke berbagai kelompok, seperti kepada politikus, penegak hukum, dan elite Partai Demokrat. Termasuk pemberian uang kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M.Gaffar sebesar Sin $ 60 ribu, yang kemudian dikembalikan ke KPK.
Nazaruddin juga mengaku menggelontorkan uang sebesar US $ 20 juta atau Rp 120 miliar untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu. Dalam catatan itu, uang juga digelontorkan kepada Anas dan Andi Mallarangeng serta Edhi Baskoro Yhudhoyono.
Jika catatan perusahaan Nazaruddin itu benar, sangat ironis, di mana paratai pemenang pemilu yang mengusung jargon, "katakan tidak pada korupsi", justru melakukan megaskandal korupsi. Melakukan pembiayaan partai dengan cara menggerogoti duit negara, melalui proyek-proyek kementerian dengan berbagai cara, yang sangat tidak sehat.
Ketika kongres di gelar pada Mei 2010, Anas, Andi, dan Edhie Baskoro merupakan pejabat negara. Anas dan Edhi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Andi Mallarangeng menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Jika tidak melaporkan pemberian dalam waktu sebulan, sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), itu jelas merupakan gratifikasi dan ini melanggar hukum.
Tetapi, Presiden SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, nampaknya ‘the last minute" ingin menyelamatkan Anas dan Demokrat, sesudah partai ini dihantam badai yang diakibatkan serangan-serangan yang dilakukan oleh Nazaruddin, yang hakikatnya adalah orang demokrat sendiri. Nazar merasa tidak dibela dan dibuang, saat menghadapi tuduhan korupsi, dan sekarang sudah menjadi tersangka.
Mestinya, jika Presiden SBY ingin menjadi negarawan, tidak harus membela Partai Demokrat dan elitenya. Mestinya SBY mencontoh seperti Presiden Korea Selatan, Kim Dae-Yung (1998-2003), yang tak segan menangkap dua anaknya, yang dituduh terilibat korupsi. Tetapi, semuanya itu hanya "impossible", yang terjadi justru membela dan menutupinya.
Termasuk pencarian Nazaruddin, tak bakalan kembali ke Indonesia. Nazaruddin akan seperti Nunun Nurbaeti. Apakah Partai Demokrat akan berani menanggung ‘ocehan" Nazaruddin di pengadilan, yang akan menguliti elite Partai Demokrat yang sudah menerima duit itu.
Mestinya, Partai Demokrat itu menempuh langkah yang baik, membubarkan diri, karena sudah tidak memiliki lagi dasar legitimasi. Presiden SBY juga tak perlu memberikan jaminan kepada Anas Urbaningrum. Karena, tak ada jaminan kalau Anas Urbaningrum tetap menjadi Ketua Umum Demokrat, partai itu masih dapat dipertahankannya. (mh)