OLEH: WAWORUNTU MANALO*
Itu hari libur. Ibukota seperti mengaso. Kendaraan yang lalu lalang di jalan depan kedai kopi itu bisa dibilang. Jakarta seperti sedang healing. Dari polusi. Ditinggal penghuni. Pergi berlibur. Entah ke mana. Atau pada pulang kampung. Kedai kopi di bilangan Kemang yang diriung pelanggan saban hari itu, juga agak sunyi.
Dari belasan meja, hanya lima anak muda yang meriung di sudut kanan. Dekat tangga. Dan sejoli yang bergurau di sudut kiri. Dekat dinding kaca. Menghadap jalan.
Lima hari yang lalu, saya nekat mengirim pesan kepada ekonom senior ini. Rizal Ramli. Baru beberapa kali berjumpa. Dan, bagi orang seperti saya, dalam segala-galanya dia jenis orang dari ketinggian. Meraih gelar doktor dari Amerika. Dan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, dia menjadi Menteri Kordinator Bidang Perekonomiam, Menteri Keuangan, Menteri Negara Urusan BUMN. Dan, pada masa pertama Presiden Joko Widodo, Rizal menjadi Menko Kemaritiman. Meski hanya setahun lebih.
Saya mengirim gambar sampul. Dari buku seorang sahabat lama, dari kejauhan masa kecil. Tentang praktik kapitalisme global. Tentang liberalisasi. Juga tentang negara-negara ketiga yang tersedak oleh hutang. Kebetulan si kawan ini penggemar berat Rizal Ramli, yang disebutnya sebagai kritikus liberalisasi paling membumi. Hati dan mata kita, yang tidak hanya melihat wajah kemuliaan demokrasi sudah ternoda oleh perselingkuhan politik dan dagang, tapi kita semua sudah terkurung di dalamnya. Rizal adalah pengeras, dari suara yang menghilang pada satu titik sunyi.
Mungkin terdengar begitu berlebihan, atau apapunlah kita menyebutnya, tapi begitulah si kawan itu melukiskan Rizal Ramli. Dan jika debat tentang perselingkuhan itu saya teruskan, si kawan segera memotong dengan kalimat yang membuat kita rindu kampung, lengkap dengan halaman, serta padi menguning dari petak sawah. “Kau terlalu lama hidup di perantauan kawan.”
Lalu dia bercerita tentang pupuk dan insektisida. Yang ketika kami masih kanak-kanak, kakek dan ayah mengangkut dari Koperasi, ditukar hasil panen, dan hari ini dibeli dari para pemburu laba. Atau tukang ijon. Yang datang dalam wajah frenemies. Kawan sekaligus musuh. Hari ini merayu, besok mencekik.
Saya pernah menyanggah soal pupuk ini, dan meyakinkan si kawan bahwa para pemburu rente telah lama jadi mendiang. Sudah ada pula pupuk subsidi. Si kawan ini sontak mengirim tangkapan layar berita harian Kompas, tanggal 2 Februari 2022, yang berjudul “Membenahi Kebijakan Pupuk Nasional.” Baca bagian “Pemburu Rente.” Lihat grafik rantai distribusi. Lalu simak modus para tukang rente di situ. Subsidi pupuk itu, lanjutnya, sudah semenjak 1969. Sudah berusia 54 tahun.
Suatu hari dia berpesan, “Kalau kau bertemu Pak Rizal Ramli, tolong sampaikan soal pupuk dan insektisida itu.” Dan entah karena harapan si kawan itu, saya merasa sebagai orang yang beruntung. Pesan kepada Rizal itu bersahut. Dan dia mengajak ngopi bareng. Dan, di kedai itulah saya menunggu.
Lima menit di situ, Rizal datang. Dia memakai baju lengan panjang. Baju di masukkan. Dan menyapa penuh akrab, bagai sahabat lama, yang membuat orang kampung seperti saya serasa ikut melayang ke barisan depan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari tatapan mata anak-anak muda di meja ujung itu, ketika Rizal menyapa penuh karib sembari mengulur tangan. Dan untuk sejenak, untuk pertama kali dalam hidup, saya merasa bangga sebagai anak perantauan.
Meski begitu, saya masih agak kikuk. Dan Rizal memulai percakapan dengan bertanya soal kabar. Pertanyaan klise orang-orang kita. Tapi dari cara dia bertanya, sepertinya dia tidak mengharapkan jawaban yang klise. Saya lalu bercerita tentang banyak soal. Dari pekerjaan hingga keluarga. Hingga hal-hal yang lucu tentang pekerjaan. Banyolan tentang hidup. Dan hampir lupa bertanya kepada diri sendiri: apa semuanya pantas di dengar oleh orang seperti dia. Rasanya ini cerita level warung kopi, yang lazim dituturkan sembari satu telapak kaki bertumpu di tempat duduk.
Dia juga kemudian bercerita tentang anak-anaknya. Sudah mandiri semua. Tentang buku yang sedang dibacanya. Dan dari situ mengalirlah cerita tentang sekian hal serius. Jika disimak dengan seksama, terasa seperti sedang kuliah sore dengan seorang sahabat lama. Dan, barangkali inilah keajaiban paling alamiah dari Rizal Ramli. Gampang membuat lawan bicara menjadi begitu karib. Dalam sehari, sarannya, “Sisihkan waktumu untuk membaca.” Agar runtut diikuti, obrolan sore itu saya pisah-pisah dalam beberapa judul.
Gus Dur dan Stimulus Rizal adalah salah satu tokoh penting dalam pergerakan mahasiswa tahun 1978. Masuk penjara karena ikut memimpin unjuk rasa, kritik Orde baru yang meliberalisasi begitu banyak nadi kehidupan kita, menyingkap wajah curang kekuasaan, dan kepalan yang membungkam isi kepala. Rizal menempuh pendidikan hingga meraih gelar doktor. Pulang. Bersama sejumlah sahabat mendirikan lembaga riset bernama Econit. Ikut dalam pergerakan civil society. Dan menjadi salah satu tokoh penting dalam pemerintahan Gus Dur, yang seribu sayang, begitu singkat dan kasihan.
Di kampung kami, Gus Dur begitu mulia. Dan begitu dicintai. Seratus persen penghuni kampung itu tentulah belum pernah bertemu Gus Dur. Tapi mereka serasa mengenal dia begitu dekat.
Dari keterusterangan. Ceplas-ceplos. Yang kami anggap sebagai cara paling nancep untuk berkata jujur. Dan karena kejujuran itu Gus Dur dimuliakan. Memiliki kekuatan memaafkan. Dan dikenang dari sekian banyolan yang sanggup membuat orang-orang tukang mikir dan tukang bajak sawah riang terpingkal.
“Apakah Gus Dur berpengaruh besar dalam hidup Anda?” Begitu pertanyaanku kepada Rizal sore itu tentang tokoh satu ini. Dia menimpal dengan raut wajah, yang terlihat seperti menghimpun begitu banyak kenangan. “Pertanyaanmu bikin saya ingat Gus Dur. Dia guru bangsa. Dia sayang sama rakyat. Lurus. Tidak neko-neko” Jawaban yang singkat. Tapi terasa lama. Karena Rizal melafal setiap kota kata itu dengan suara rendah. Berjeda. Dan seperti ada kenangan dari setiap kata, yang terasa begitu kekal.
Rizal lalu bercerita tentang stimulus ekonomi. Pada masa Gus Dur, kisahnya, stimulus ekonomi menyasar kalangan menengah ke bawah. Bukan korporasi. Gaji pegawai negeri dinaikkan. Begitu juga gaji Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan polisi, serta para pensiunan. Dengan begitu, orang-orang menengah ke bawah jadi punya uang cash. Mereka belanja ke toko riteil. Saat Gus Dur menjadi presiden, lanjutnya, dia diwarisi hutang kredit usaha tani. Sejumlah 26 triliun.
Semenjak belia, Rizal sudah menjadi anak yatim piatu. Dia kenyang dengan kesusahan. Dengan himpitan. Dan sebagai Menko Perekonomian, dia harus berpikir keras menemukan jalan agar para petani keluar dari himpitan hutang. Dan kepada Presiden Gus Dur, dia lalu mengusulkan untuk menghapus saja hutang itu. Sebab Rizal tidak menemukan bayangan, bagaimana para petani melunasi. Sita lahan tentu memilukan.
Gus Dur sempat bertanya, dari mana uang menutup hutang itu. “Itu tugas saya Gus”, jawab Rizal. Gus Dur lalu setuju. Hutang itupun beres. Para petani tidak lagi dikejar-kejar penagih. Lega jiwa raga membajak. Mengolah tanah. Satu masalah selesai.
Di tengah gempuran liberalisasi, kata Rizal, rakyat kalangan menengah ke bawah paling sulit. Persaingan bebas butuh kekuatan modal. Dan itu sering kali berarti uang. Jika tidak memiliki uang, mereka harus menunggu tetesan ke bawah yang dijanjikan pertumbuhan. Jadi pekerja. Hidup dari gaji yang pas-pasan. Begitu terus dari bulan ke bulan. Cara hidup seperti itu tentu berat. Sulitlah anak-anak mereka melompat lebih tinggi. Hidup jadinya hanya berputar di desa.
Stimulus kepada para petani itu, agar mereka bisa menggarap tanah. Jadi lebih ekonomis. Berproduksi. Tanam padi. Tanam buah-buahan. Dan segala hal yang diperlukan di tungku api kita. Juga agar kita-kita yang di kota ini, makan dari bumi kita sendiri. Bukan dari negeri seberang. Yang mafianya banyak. Lalu konsumen membeli dengan harga mencekik. Stimulus kepada para petani, adalah versi paling membumi dari, “Cita-cita kemandirian Soekarno dan kerakyatan Mohammad Hatta.”
Saya berusaha menyimak cerita soal stimulus ini. Tapi kisah tentang para petani ini terjeda sejenak. Seorang anak muda yang ikut meriung di pojok kedai itu, tiba-tiba datang menyapa. “Pak Rizal, mohon maaf, saya temannya….”, kata si anak muda itu sembari sedikit membungkuk. Saya lupa siapa nama teman si anak muda ini. Ingatan saya tersita oleh kesantuannya. Rizal antusias menjawab. Penuh akrab. Lalu si anak muda itu bercerita tentang teman-temannya, sembari menunjuk ke meja pojok itu. “Kami sedang meeting mau bikin usaha kecil sendiri Pak.” Rizal antusias memuji, “Wah luar biasa, kalian masih muda sudah punya rencana jauh ke depan.”
Si anak muda itu lalu minta foto berdua. Tentu dengan Rizal. Saya berinisiatif menjadi juru potret. Dua foto jadi. Satu ketika wajah keduanya sedikit serius. Satu lagi ketika wajah mereka sama-sama tertawa lepas. Puas dengan hasilnya, anak muda itu pamit. Kembali meriung bersama kawan-kawannya. “Generasi mereka lebih canggih dari kita,” kata Rizal sembari tertawa. Saya ikut tertawa, cuma sedikit kecut.
Lalu Rizal kembali menjelaskan soal stimulus tadi. Soekarno dan Hatta, kata Rizal, sudah jauh-jauh hari memberi wejangan kepada kita. Tentang kemandirian dan kerakyatan. Datang dari masa lalu, sesungguhnya itulah pintu masa depan bangsa kita. Kalau hari ini kita menghidupkan lagi dua suku kata ini, lanjut Rizal, itu bukan soal nasionalisme, bukan soal anti asing, tapi itulah jalan pulang kita, dari ketergantungan yang begitu jauh terhadap bangsa lain.
Oligarki
Saya sendiri sejatinya tidak begitu paham soal ekonomi. Minat saya adalah sosiologi. Hanya saja, Rizal sepertinya dianugerahi keajaiban menguraikan soal berbelit menjadi enak dicerna. Dari seluruh penjelasan dia tentang ekonomi, kita tidak hanya menangkap kekuatan logika dan angka yang bicara, tapi kita juga menangkap semangat keberpihakan yang begitu terang. Bahwa kebijakan haruslah sepenuhnya untuk kita. Orang banyak.
Dia lalu berpindah topik. Menjelaskan soal ekonomi gelas. Soal sosialisme terbalik. Ini terminologi asing bagi saya. Yang memungkinkan stuktur ekonomi terlihat seperti sebuah gelas. Sosialisme terbalik itu menjadi mungkin, oleh karena kalangan atas pelaku ekonomi berselingkuh dengan politik. Lalu berkemungkinan membeli kebijakan. Jadilah mereka yang di atas itu menguasai begitu banyak. Menguasai bagian terbesar dari kue ekonomi. Sementara lapisan menengah ke bawah, serta pelaku ekonomi rumah tangga, berebut porsi terkecil.
Di banyak negara ketiga, lanjutnya, orang-orang yang dilapis atas itu, dapat banyak tentu ada yang karena bekerja keras. Tapi banyak juga yang menambang lewat kekuasaan. Tadinya cuma berdagang, lalu bersekutu, dan menjelma menjadi kekuatan yang kemudian kita sebut oligarki. Persekutuan itu menjadi mudah, oleh karena sistem dan cara mengelola negara memberi jalan. Dari situlah mereka menentukan begitu banyak hal. Bisnis mereka kian berpinak, bukan lagi karena kerja keras dan hukum ekonomi belaka, tapi karena kebijakan yang lebih memihak.
Kekuatan uang itu, juga memungkinkan mereka lebih mudah masuk ke dalam kekuasaan. Tidak ada yang salah memang. Tetapi jika mereka tidak melepas hasrat berdagang, maka terjadilah apa yang oleh Rizal disebut sebagai Pengpeng. Pengusaha merangkap penguasa. Pada ruang kekuasaan, perselingkuhan keduanya tidak hanya memburamkan batas, antara bisnis dan kekuasaan, tapi juga berkemungkinan menyisihkan orang banyak pada aneka urusan.
Pada pola seperti itu, lanjutnya, jika dibiarkan, uang akan menjadi candu dalam banyak hal. Termasuk demokrasi. Uang dikalahkan oleh uang yang banyak. Uang yang banyak dikalahkah oleh uang yang lebih banyak lagi. Dan jika sudah begitu, hanya satu yang sanggup menekuk mereka semua yaitu: militansi. Setia berjuang demi kebaikan. Dan militansi itu, lanjutnya, haruslah menjadi mahkota pada segala tempat dan waktu. Termasuk dari dalam. Ketika kita duduk di kursi kekuasaan.
Dari uraian singkat ini akhirnya saya mengerti, mengapa ketika duduk di kursi menteri, Rizal menerabas sekian hal yang dianggap tabu oleh setiap penghuni kekuasaan. Dia, misalnya, begitu vulgar mengkritik proyek 35 ribu megawatt Perusahaan Listrik Negara (PLN). Yang disebutnya tidak realistis. Dan hanya akan membuat PLN terhuyung memikul beban hutang. Lalu lunglai. Dia juga begitu lantang mengkritik Garuda Indonesia. Soal rencana pembelian Airbus 350. Sama seperti 35 ribu megawatt. Rencana pembelian itu disebut tidak realistis.
Lalu beberapa orang marah. Banyak orang penting juga seperti kepanasan. Dan menyebut kritikan Rizal sebagai kegaduhan. Mungkin memang cara dia memilih kata bikin gaduh, tapi kita gagal melihat kebenaran yang ditinggalkan Rizal pada kegaduhan itu.
Padahal sungguhlah tak sulit untuk melihat. Tak perlu memakai tabel dan grafik juga. Oleh karena dia bicara begitu terang. Kita mungkin benci mati punya dengan pilihan kata, tapi kita gagal melihat kemungkinan bahwa, kebenaran menyukai Rizal.
Akhir dari cerita tentang 35 ribu megawatt dan Garuda kita sama-sama paham. Sekian tahun kemudian, dua perusahaan pelat merah itu, oleh media massa kita, diberitakan sama-sama nelongso. Nyaris bangkrut. Sebelum kemudian negara mengulurkan pertolongan. Dan sebelum kebenaran itu datang, entah apa persis alasannya, yang kita tahu adalah Rizal terlempar dari kursi menteri. Kisah Rizal di kabinet tutup buku sudah.
Tapi melempar Rizal dari kursi kekuasaan, itu seperti kita melempar botol ke laut, dia akan datang lagi bersama angin. Liukkan hidupnya sudah begitu. Tekanan tak membuat merunduk. Bahkan hidup di bui, yang apa daya badan terkurung, tidak membuat Rizal hilang dari hadapan apa yang disebutnya sebagai kecurangan.
Di sela mengudap panganan sore itu, saya bertanya tentang resep Rizal, yang terlihat seperti begitu mudah bangun dari kejatuhan. “Kuncinya, jangan pernah benci orang, “jawab Rizal. Yang tidak kita suka adalah perilaku. Nothing personal. Kebiasaan orang yang menumpang di kecurangan. Apalagi too much. Siapapun dia. Kawan atau lawan. Kalau hati kita tulus untuk rakyat, bilapun dibenci, itu adalah kekuatan untuk berdiri dengan kepala tegak.
Entah karena prinsip itu, Rizal memang terlihat mudah bertemu dengan orang-orang ditampuk kekuasaan, yang kemudian kembali seperti kita, yang pernah dikritik, bahkan dengan cara yang begitu terbuka. Tidak sulit untuk menelusuri cerita seperti ini. Dari seorang Rizal Ramli. Masuk saja mesin pencari. Kita akan menemukan sekian cerita, senda gurau Rizal dengan mereka yang pernah ditampuk itu.
Kisah suram kita, kata Rizal, di samping karena watak, sebagian disumbangkan oleh sistem. Hulu dari persoalan ekonomi kita datang dari dunia politik. Biaya politik yang kelewat melangit. Menggiring demokrasi ke tangan para pemilik uang. Padahal kita tahu bahwa demokrasi adalah sebuah proyek kolosal. Tentu butuh uang. Calon presiden butuh uang. Calon legislatif butuh uang. Partai politik juga butuh uang.
Bila sepuluh tahun silam, dalam sebuah acara di Jakarta, Rizal dan sejumlah kawannya, mengusulkan agar negara mendanai partai politik, lewat undang-undang keuangan partai politik, yang diaudit secara berkala, itu bukanlah tentang menghitung angka belaka, tapi itu adalah jalan pulang kita dari kemungkinan begitu jauhnya demokrasi hanyut ke tangan pemilik modal.
Bersama Rakyat
Tahun 1978, bersama kawan-kawannya, Rizal pernah keliling Jawa. Dari desa ke desa. Merekam, juga merasakan kesulitan yang menjepit orang-orang kecil. Selain karena melihat kecurangan pada begitu banyak kebijakan, dari kunjungan ke desa-desa itulah dia mengasah bela rasa, dan meledak dalam sekian pekikan di tengah keriuhan unjuk rasa.
Jika hari ini, kita sering menemukan Rizal bersenda gurau dengan orang-orang kecil, duduk di tengah kerumunan mahasiswa, berkunjung ke desa-desa, itu bukanlah karena jalan raya sudah membentang dan angkutan hilir mudik, tapi itu adalah sesuatu yang benihnya sudah masuk ke jiwa raganya semenjak 45 tahun silam itu.
Orang-orang kecil, kata Rizal, lebih mudah berkata jujur. Mereka juga sangat tulus. Ngopi sore itu, ditutup dengan cerita tentang orang-orang kecil. Yang dijumpai Rizal di banyak daerah. Dan oleh karena hari kian petang, kami saling berpamitan.
Meninggalkan kedai kopi itu. Sekitar pukul enam. Di halaman parkir kedai itu saya melihat ada tiga kendaraan. “Sopir Bapak di mana?” tanyaku sembari mencari, melirik tiga pria yang duduk di sudut kanan. “Oh saya naik motor saja,” sahut Rizal. Saya agak terkejut. Belum hilang keterkejutan itu, dia pamit. Lalu menyeberang. Berdiri menunggu di trotoar seberang kedai.
Oleh karena lalu lalang motor bersuara keras, dari parkiran itu setengah berteriak saya menawarkan bantuan, “Saya antar saja Pak.” Dari seberang jalan, dia menyahut sembari melambaikan tangan, “Terima kasih. Gampanglah.” Saya lalu melihat dia melambaikan tangan kepada sejumlah pemotor yang lewat. Motor ketiga berhenti. Seorang anak muda.
Rizal terlihat berbicara sejenak dengan anak muda itu. Lalu naik. Duduk anteng di belakang. Saya masih memperhatikan motor si anak muda itu melaju lurus. Lalu belok kanan. Terus perlahan masuk sebuah gang. Seorang pria paruh baya, yang rupanya petugas parkir di situ, menghampiri saya, “Pak Rizal itu sering ke sini Bang. Kalau pulang biasanya cegat motor yang lewat.” “Oh,” sahutku. Aku masuk mobil sembari menyesali diri. Kenapa aku lupa memotret. Padahal HP ditangan. Sialan.
(RMOL)